Friday 26 January 2007

Gelang Giok Naga

Judul : Gelang Giok Naga
Penulis : Leny Helena
Penyunting : M. Irfan Hidayatullah
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, November 2006
Tebal : 316 hlm ; 20.5 cm
Harga : Rp. 39.500,-


Batu Giok dan Naga, adalah dua hal yang melekat dalam kehidupan orang Cina.. Batu Giok yang juga memiliki nilai tinggi layaknya permata, dipercaya sebagai menangkal bala, menyembuhkan penyakit dan juga simbol status sosial. Sedangkan Naga adalah simbol yang sangat kompleks dalam kosmologi Cina. Naga bisa bertindak sebagai pelindung sekaligus pembawa bencana. Semenjak dinasti Han (300 SM) naga dijadikan lambang kekaisaran sebagai kekuasaan yang absolut dari seorang kaisar, bahkan kaisar-kaisar Cina dipercaya sebagai keturunan langsung dari naga. Bukan itu saja secara luas masyarakat Cina juga sering menyebut diri mereka sebagai keturunan naga.

Giok dan Naga, dua hal inilah yang oleh Leny Helena disandingkan dalam sebuah kisah dimana Giok dan Naga berpadu di dalam sepasang gelang. Gelang Giok Naga dalam novel ini seperti diungkapkan oleh penulisnya, juga bisa diartikan sebagai simbol dimana gelang melambangkan dunia materialitas dimana penampilan fisik sering dijadikan parameter, khususnya bagi para wanita. Giok melambangkan bagaimana wanita dihargai layaknya permata, namun juga rapuh, bisa pecah dan hancur, namun wanita juga bisa memilih untuk berjuang dan bertahan bagaikan naga yang pada akhirnya akan disegani.

Dalam novel ini dikisahkan Kaisar Jia Shi menghadiahi selir kesayangannya - Yang Kuei Fei - sepasang gelang yang terbuat dari batu giok murni dengan hiasan naga emas didalamnya. Pada tahun 1723 Kaisar Jia Shi berencana memperluas daerah kekuasaannya hingga ke Korea. Rencana ini didukung oleh beberapa menteri dan jenderal, namun beberapa menteri lainnya menentang keinginan sang Kaisar karena mereka menganggap situasi di dalam negeri banyak yang masih harus dibenahi. Kasim Fu termasuk petinggi istana yang menentang rencana kaisar. Untuk itu ia membujuk Yang Kuei Fei untuk memata-matai dan membujuk Kaisar untuk membatalkan niatnya.

Suatu malam ketika sedang berdua dengan Yang Kuei Fei, Kaisar Jia Shi terbunuh karena seseorang telah menaruh racun dalam semangka yang dimakannya. Karena ketakutan dituduh telah membunuh Kaisar, Yang Kuei Fei melarikan diri bersama Kasim Fu. Dalam pelariannya ia tak lupa membawa perhiasan-perhiasannya termasuk sepasang Gelang Giok Naga pemberian sang Putera Langit. Tak hanya itu, dalam rahimnya ia juga membawa benih cinta antara dirinya dengan sang Kaisar !.

Gelang Giok Naga ternyata terus tersimpan dan diwariskan dari generasi ke generasi, uniknya gelang ini selalu diwariskan kepada anak perempuan. Entah pada generasi keberapa akhirnya gelang ini diberikan pada A Sui di tahun 1937 ketika ia hendak menyusul suaminya ke Batavia.

Di tahun yang sama, di Batavia A Lin, gadis cina miskin dijual oleh orang tuanya untuk dijadikan penghibur. A Lin akhirnya dijadikan seorang ‘nyai’ bagi seorang meneer Belanda bernama Cornell van der Beek.Walau awalnya hidup bahagia sebagai nyai dan memiliki anak kembar, A Lin akhirnya harus hidup sendiri setelah Cornell dan kedua anaknya kembali ke Belanda. Namun A Lin tidak meratapi nasibnya, daripada dijual kembali untuk menjadi Nyai ia memutuskan untuk menikah dengan seorang Cina hingga akhirnya memiliki anak dan menjadi pedagang yang sukses.

Berbeda dengan A Lin, kehidupan A Siu di Batavia tak berlangsung mulus, setelah kematian suaminya, A Siu hidup menderita dengan ketujuh anak-anaknya. Untuk menyambung hidupnya A Siu menggadaikan gelang giok naga pemberian ibunya pada salah seorang wanita Cina kaya di batavia. Dan wanita itu adalah A Lin.

Secara tak terduga anak A Lin dan A Siu berteman hingga akhirnya putra A Lin menghamili putri A Siu sehingga akhirnya mereka harus menikah. Dari pernikahan ini lahirlah Swanlin yang namanya diambil dari kedua nama neneknya (A lin dan A Siu). A Lin dan A Siu kini terikat dalam ikatan keluarga. Namun mereka tidak pernah akur, karenanya A Siu tak pernah menanyakan keberadaan gelang giok naga yang pernah digadaikannya pada A Lin yang hingga kini belum pernah ditebusnya. Demikian pula dengan A Lin, ia tak pernah sedikitpun menyinggung soal gelang itu pada A Siu. A Siu hanya berpesan pada cucunya – Swanlin agar memberitahu padanya jika ia melihat nenek A Lin kedapatan memakai gelang giok naga.

Cerita terus melompat maju hingga Swanlin dewasa dan bergaul dekat dengan teman-teman diluar etnisnya. Ia juga membantu mencari keberadaan kedua anak A Lin dari buah cinta neneknya di masa lalu dengan Cornell. Selain itu Swanlin dan kedua neneknya juga melewati saat-saat genting dalam dunia politik dimana Indonesia mengalami pergolakan reformasi dan etnis tionghoa menjadi sasaran amuk massa yang tak terkendali.

Kisah Gelang Giok Naga pada awalnya merupakan cerita bersambung yang diikutsertakan dalam Sayembara Mengarang Cerber Femina 2004. Cerber yang awalnya berjudul Gelang Giok ini berhasil memenangkan sayembara tersebut. Seperti diutarakan oleh penulisnya, novel Gelang Giok Naga merupakan pengembangan cerita dari versi cerbernya.

Tampaknya ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh penulisnya dalam novel ini. Novel ini bisa dikatakan novel yang sarat dengan muatan historis-sosiologis. Di halaman-halaman awal pembaca akan disuguhkan cerita mengenai legenda Naga, lalu beralih ke keadaan kekaisaran Cina dimasa Dinasit Ching di abad 18. Kehidupan kaisar dan intrik politiknya, kehidupan selir-selirnya, hingga proses pengebirian pria yang hendak dijadikan kasim untuk menjaga harem istana terungkap di bab-bab awal novel ini.

Sesuai dengan panjangnya bentangan waktu dalam novel ini (1723-2001) aspek-aspek kultural masyarakat tionghoa dari masa kemasa dalam novel inipun ikut terungkap. Setelah pembaca diajak memahami situasi Cina di abad ke 18, maka ketika cerita bergerak di tahun 30-an kita akan diajak menyimak bagaimana kondisi sosial masyarakat etnis Tionghoa di Batavia di dimasa itu. Salah satunya mengenai Nyai. Ternyata yang bisa dijadikan ‘nyai’ bagi para meneer Belanda bukan hanya wanita pribumi saja. Gadis-gadis Cina yang kurang beruntung harus rela dijual sebagai ‘Nyai’.

Selain itu novel ini juga memotret perilaku dan gaya hidup etnis Tionghoa dari masa kemasa. Karena novel ini ditulis juga oleh seorang etnis tionghoa maka apa yang selama in dirasakan dan dialami oleh seorang Tionghoa sebagai warga minoritas terungkap dengan jelas, hal ini terwakili oleh apa yang dialami dan menjadi pemikiran tokoh Swanlin, mulai dari ejekan sebagai Cina celeng, ketakutan kesulitan mencari pekerjaan jika masih memakai nama cina, korban penjarahan jika ada kerusuhan hingga anggapan umum bahwa etnis tionghoa adalah pencuri rezeki kaum pribumi, dll. Namun dengan bijak penulis juga melakukan otokritik terhadap etnis Tionghoa antara lain sifat ekslusif dan sulit berbaur dengan lingkungannya.

Novel yang dituturkan oleh tiga orang wanita (A Lin, A Sui dan Swanlin) ini juga menyinggung semangat eksistensi keperempuanan yang cukup kental. Ketiga tokoh wanita dalam novel ini mencerminkan para wanita yang ulet dan tidak menyerah pada nasib atau hanya bergantung pada lelaki. A Lin digambarkan sebagai wanita tegar dan pandai, baik ketika ia menjadi Nyai maupun ketika tuannya meninggalkannya. Sosok A Lin sebagai Nyai yang cerdas dan mau belajar banyak hal, akan mengingatkan kita pada tokoh rekaan Pramoedya AT - Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia. A Sui juga digambarkan sebagai wanita yang berhasil mengatasi kesulitan hidup ketika ditinggal mati suaminya untuk menghidupi ketujuh anaknya. Swanlin mewakili wanita masa kini digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas, melawan tradisi harus menikah dengan laki-laki sesukunya, ikut mendaki gunung sebagai satu-satunya peserta wanita, dan turut memainkan peran dalam perjuangan reformasi.

Selain tercermin dalam ketiga tokohnya, semangat perlawanan eksistensi keperempuanan juga tampak pada keberadaan gelang giok naga yang selalu diwariskan pada anak perempuan, hal yang tak lazim karena masyarakat cina yang patrilineal lebih mengutamakan anak pria terlebih dalam meneruskan simbol keluarga.

Rentang waktu yang panjang (1723-2001) yang menjadi setting kisah ini merupakan salah satu keunikan novel ini. Novel ini dibagi dalam 16 bab berdasarkan tahun. Sayang lompatan tahunnya tak konisiten. Kadang lompatan tahunnya begitu rapat, kadang melompat jauh 10 tahun bahkan hingga ratusan tahun (1724-1935).

Lompatan cerita yang terlalu jauh dalam novel ini menyebabkan adanya bagian-bagian yang tak terceritakan yang sebetulnya akan lebih menarik bila bisa diungkapkan. Selain itu kisah Gelang Giok Naga dalam novel ini seolah tenggelam dalam cerita ketiga tokoh wanitanya. Akan lebih menarik jika diungkap bagaimana serunya dan dramatisnya gelang ini berpindah dari generasi ke generasi. Dalam novel ini kita hanya mendapat cerita bahwa gelang ini berpindah dari tangan kaisar ke selirnya, lalu ke tangan orangtua A Siu dan diwariskan pada A Siu, digadaikan kepada A Lin dan akhirnya diberikan pada Swanlin. Kisah perpindahannya sendiri tampaknya tak terlalu didramatisir oleh penulisnya sehingga keberadaan gelang giok naga ini seolah hanya sekedar benang merah tipis yang mengikat keseluruhan cerita.

Sebenarnya materi cerita dan ragamnya tema yang diangkat oleh penulis, berpotensi besar untuk menjadikan novel ini sebagai novel yang monumental yang membahas sejarah panjang masyarakat etnis tionghoa di Indonesia lengkap dengan uraian historis sosiologiosnya. Andai saja penerbit atau penyuntingnya lebih sabar untuk tidak menerbitkan dulu novel ini dan memberikan kesempatan pada penulisnya untuk memberikan sentuhan dramatis pada perjalanan gelang giok naga dan memperdalam ekplorasi cerita, tokoh-tokohnya dan memperdalam muatan budayanya, bukan tak mungkin novel ini akan menjadi semakin menarik dan menjadi novel yang terus dibaca orang terutama bagi mereka yang ingin memahami bagaimana kehidupan kaum minoritas etnis Tionghoa yang telah memiliki sejarah panjang dan membentuk budayanya sendiri di bumi Indonesia.

Namun terlepas dari kekurangan di atas. Leny Helena, seorang warga negara indonesia yang kini tinggal di Houston USA telah berhasil mengangkat nilai-nilai kultural leluhurnya dalam tema lokal dengan balutan cerita menarik dengan plot yang enak diikuti dan enak dibaca. Ragamnya tema yang terungkap dalam novel ini (gender, intrik politik dan kekuasaan di zaman Dinasti Ching, kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, konflik identitas, reformasi 1998 dan kisah cinta lintas etnis) tentunya menjadikan karya ini tidak sekedar menjadi hiburan semata. Nilai-nilai informasi yang bertaburan didalamnya otomatis akan memperkaya pembacanya dalam banyak hal.


@h_tanzil

Friday 19 January 2007

V for Vendetta

Judul : V for Vendetta
Genre : Novel Grafis
Penulis : Alan Moore & David Llyod
Penerjemah : Sisilia Kinanti G
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 301 hlm ; 26 cm
Harga : Rp. 95.000,-


London, 5 November 1997, House of Parliamet, simbol kekuasaan pemerintah Inggris diledakkan oleh seseorang berinisial ‘V’ yang dalam aksinya berdandan dan menggenakan topeng ala Guy Fawkes. Selain peledakan, aksi V juga diikuti dengan atraksi kembang api yang mengagetkan seluruh penduduk London.

Di saat yang hampir bersamaan, V menyelamatkan Evey Hammond, seorang gadis dengan masa lalu yang kelam dari jebakan para intel polisi saat hendak melacur. Dalam aksinya ini beberapa intel polisi terbunuh secara mengenaskan dan Evey diajaknya untuk tinggal bersama V di sebuah tempat rahasia yang dinamai Galeri Bayangan.

Sebelum polisi melacak siapa sebenarnya V, teror terus berlanjut, kali ini dengan menculik Lewis Prothero seorang tokoh politik sekaligus penyiar ‘suara takdir’ - radio propaganda pemerintah inggris. Prothero dibawa ke sebuah tempat yang kondisinya serupa dengan Kamp Relokasi Larkhill, sebuah tempat mirip kamp konsentrasi nazi untuk menampung masyarakat yang melawan atau tidak sejalan dengan ide pemerintah inggris. Prothero yang pernah menjadi kepala Kamp Larkhill kini mendapat siksaan mental dari V hingga akhirnya menjadi gila dan dibebaskan.

Teror yang dilakukan V terus berlanjut, patung Madam Justice, simbol keadilan dihancurkan, lalu terjadi beberapa pembunuhan, dengan bantuan Evey, V membunuh Uskup Lilliman . Lalu seorang dokter wanita bernama Delia Surridge tewas disuntik oleh racun mematikan. Dari ketiga kasus ini lambat laun polisi berhasil menemukan titik terang, baik Prothero, Uskup maupun dr Delia, ketiga-tiganya pernah bekerja di Kamp Relokasi Larkhill yang kini telah ditutup. Di kamp ini pernah dilakukan berbagai eksperimen medis yang dipimpin oleh dr. Delia dengan para tawanan sebagai kelinci percobaannya. Dari seluruh tawanan yang dijadikan percobaan medis, hanya satu orang yang bertahan hidup dan menjelma menjadi sosok yang jenius dan penuh kharisma. Tawanan itu menempati sel nomor lima, yang nomornya ditulis dengan angka romawi. Angka romawi untuk lima adalah ‘V’. Selain bertahan hidup dari eksperimen medis, tawanan dari kamar no. 5 ini berhasil kabur dengan meledakkan Kamp Larkhill.

Apakah aksi V hanya sekedar balas dendam atas apa yang dialaminya di kamp Larkhill ? Walau polisi berhasil mendapat sedikit titik terang pelaku teror, V tetap melaksanakan aksinya, berbagai teror peledakan kembali dilakukan, ia bahkan berhasil menyelinap ke studio TV nasional, menyandera seluruh stafnya dan menyiarkan rekaman pidatonya untuk mencoba membangun kesadaran rakyat inggris bahwa mereka telah dikuasai oleh rejim fasis yang telah mengubur dan mencuci otak masyarakat London akan dambaan dan arti kebebasan, V mengingatkan penduduk London mengenai masa lalu dan masa datang, V mengajak masyarakat untuk berontak !.

Berhasilkah V, sosok misterius yang hanya dibantu oleh Evey menjatuhkan rejim fasis yang membelenggu kebebasan rakyat Inggris ? Siapakah sebenarnya V yang selalu bersembunyi dibalik topeng senyumnya ?

Kisah di atas tertuang dalam bentuk novel grafis karya Alan Moore & David Llyod. Novel grafis ini mulai digarap pada tahun 1981 dan selesai pada tahun 1988. Moore menggunakan latar belakang London di tahun 1997. Salah satu yang mengilhaminya adalah sebuah prediksi politik menjelang pemilu Inggris 1982, yang mengatakan bahwa kaum konservatif akan kalah dalam pemilu. Selain itu Moore seperti diakuinya juga terpengaruh oleh novel ‘1984’ karya George Orwell dimana setting ceritanya adalah sebuah negara yang dipimpin oleh pemerintahan fasis yang mengontrol perilaku warganya dengan ketat.

Dalam karyanya ini Moore menggunakan latar belakang london di tahun 1997 setelah terjadinya perang nuklir. Walau Inggris terhindar dari serangan nuklir namun london dilanda kerusuhan masal sehingga memunculkan satu kekuatan fasis yang mengendalikan negara, mematikan demokrasi dan mengontrol ketat warganya melalui ribuan kamera yang terpasang di seluruh London.

Sedangkan untuk gambaran tokoh V yang dalam aksi-aksinya selalu bertopeng lengkap dengan topi tinggi dan jubah panjang, diadaptasi oleh David Lyood dari tokoh nyata Guy Fawkes. Guy Fawkes adalah pemimpin kelompok garis keras katolik yang melakukan aksi terkenal yang dinamakan “Gun Powder” di tahun 1605. Kelompok ini merencanakan untuk meledakkan House of Parliament demi memprotes pemerintahan monarki dan membunuh Raja James I yang Protestan. Dan tanggal yang dipilih oleh Guy Fawkes untuk meledakkan house of Parliement dan membunuh raja adalah 5 November 1605! Walau aksinya ini gagal namun kiprah Guy Fawkes dicatat dalam sejarah Inggris.

Namun Walau novel grafis ini mengadopsi sejarah Inggris dan novel Orwell, bukan berarti kisahnya menjadi membosankan dan bisa ditebak Moore meramu sejarah dan imajinasinya dengan cerdas, lengkap dengan dialog-dialog politis soal anarkis, fasisme, demokrasi, hakikat kebebasan, dll.

Novel grafis dengan tebal 286 halaman ini dibagi dalam 3 bagian besar. Bagian pertama menyiapkan tokoh dan dunianya dimana akan terungkap latar belakang V. Bagian kedua “Kabaret yang Kejam” mengeksplorasi tokoh-tokoh pembantu secara lebih mendalam dan sebagian besar dipusatkan pada tokoh Evey Hammond. Bagian ketiga, “Negeri Sesuka Hati”, menjalin semua benang merah dalam buku pertama dan kedua menuju sebuah klimaks yang tak terduga.

Dari segi grafis, rupanya David Lloyd menggambarkannya dengan tepat, sesuai dengan suasana seeting keadaan Inggris setelah perang nuklir, gambar-gambarnya didominasi warna-warna gelap dan kelam, hal ini juga mendukung gambaran keadaan rakyat ingris, yang saat itu diceritakan dalam keadaan depresi akibat hilangnya kebebasan dan identitas dibawah tekanan pemerintahan fasis.

V for Vendetta memang bukan kisah yang mudah untuk dicerna seperti komik-komik lain pada umumnya, ini memang komik serius yang menyajikan kisah yang menakutkan sekaligus memukau tentang hilangnya kebebasan dan identitas dalam dunia totalarian.

Konflik antara anarki yang dilakukan oleh V dengan fasisme yang dilakukan oleh pemerintah Inggis mencuat dalam kisahnya. Selain itu buku ini juga seolah hendak mengajarkan tentang bagaimana sebuah masyarakat tidak seharusnya dikuasai oleh sekelompok orang saja yang mencekokkan kebenarannya sendiri. Tatanan masyarakat yang bebas dan demokratis harus diperjuangkan. Secara teatrikal novel grafis ini menjelaskan fase-fase yang perlu dilalui untuk mencapai pada tahapan pembentukan masyarakat yang bebas tersebut. Fase pertama dimana sebuah ide destruktif dibenarkan untuk menghancurkan atau mendekonstruksi tatanan masyarakat yang eksis saat ini, setelah kehancuran total terjadi—yang tentu hal ini akan direspon oleh sebagian besar masyarakat dengan tindak kerusuhan dan kekacauan sosial—diharapkan masyarakat akan mulai belajar untuk mengatur diri mereka sendiri.

Setelah hampir 20 tahun semenjak novel grafis ini pertama kali diterbitkan secara lengkap oleh DC Comics (1988). Setelah filmnya lebih dulu beredar di Indonesia kini novel grafis ini bisa dibaca dan dinikmati oleh pembaca tanah air. Rieza F Muliawan (pengamat komik Indonesia), menyambut baik diterjemahkannya novel ini. Dari segi terjemahan ia mengatakan terjemahannya cukup bagus dan memenuhi kaidah leterring dalam komik yang dibatasi oleh balon percakapan. Secara tepat beberapa tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dibiarkan dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk kata-kata yang kasar (cursing) diterjemahkan dengan kata lain yang lebih halus. Dari segi pengemasan buku, Rieza menilai buku terbitan Gramedia ini dikemas seperti aslinya. Kualitas kertas dan cetakan Gramedia bisa dibilang memuaskan, malah ia menambahkan dibanding versi trade paperbacknya, versi gramedia dinilainya lebih bagus.

Bagi pecinta komik, buku ini tentu saja sedikit memuaskan kerinduan mereka akan diterjemahkannya komik-komik bermutu oleh penerbit-penerbit kita. Bagi Gramedia sendiri kehadiran buku ini seolah membuktikann semboyan mereka yang dicanangkan pada tahun lalu “Gramedia Goes to Graphic Novel”, setidaknya kini sudah ada beberapa novel grafis diterbitkan oleh GPU al. Bordir – Marjane Satrapi, Love Me Better dan Chicken Soup Graphic.

Bagi pembaca Indonesia novel grafis ini bukan tak mungkin akan mengingatkan pembacanya pada situasi politik tanah air beberapa tahun yang lampau. Tahun 1998 ‘V’ berhasil membuat masyarakat chaos dengan meledakkan sistem kontrol pemerintah inggris. Di Indonesia, pada tahun 1998 penculikan dan chaos mendahului tumbangnya rezim Orde Baru yang selama 32 tahun mengontrol ketat perilaku politik masyarakat Indonesia.

V menawarkan anarki untuk meruntuhkan kesewenangan rezim fasis yang totalilarian, namun apakah anarki memang satu-satunya cara untuk mendekonstruksi tatanan masyarakat yang terbelenggu oleh pemerintahan yang totalitarian ?

@h_tanzil

Friday 12 January 2007

Warna-warni Hidupku

Judul : Warna-warni Hidupku (hari-hari..Muh Rizky Aulia Gobel)
Solusi Memantau Perkembangan Anak Melalui Blog
Penulis : Amril Taufik Gobel
Penerbit : Gradiens Books
Cetakan : I, 2007
Tebal : 199 hlm
Harga : Rp.






Memiliki anak dan membesarkannya adalah idaman setiap orang yang telah berkeluarga. Memang tak mudah membesarkan seorang anak, ada suka, ada duka, semuanya selalu menjadi bahan cerita yang menarik untuk dibicarakan, terlebih bagi sesama orang tua yang memiliki anak dengan tingkat usia yang hampir sama.

Tak hanya dibicarakan, aktivitas dan perkembangan seorang anak pun sangat menarik untuk didokumentasikan, ada yang menngabadikannya dengan foto, merekam aktifitasnya dengan handycam, atau menuliskannya dalam catatan harian baik dalam sebuah buku yang bersifat pribadi maupun dalam media on line yang terbuka untuk dibaca oleh semua orang seperti milis, website, blog, dll.

Menulis perkembangan anak melalui blog, itulah yang dilakukan oleh Amril Taufik Gobel, seorang ayah, karyawan, penulis, sekaligus blogger yang namanya cukup dikenal di dunia cyber, selain webnya (http://amriltgobel.net) pernah meraih anugerah website terbaik versi www.webterbaik.com Amril juga aktif di komunitas blog terbesar di Indonesia – Blogfam, dan kini dipercaya untuk menjadi redaksi majalah online Blogfam (www.blogfam.com).

Berawal dari kerajinannya menulis blog yang telah dilakukan sejak beberapa tahun kebelakang, pada tahun 2002, sejak kelahiran anak pertamanya Muh. Rizky Aulia Gobel. Amril mencoba menulis blog berisi pengalaman-pengalaman yang dialami oleh keluarganya melalui sudut pandang anaknya sendiri. Rupanya ketekunannya ini mendapat banyak respon dari pembaca blognya hingga akhirnya dilirik oleh penerbit Gradien yang sudah beberapa kali menerbitkan buku yang bersumber dari blog pribadi seseorang.

Buku yang diberi judul “Warna-warni hidupku – hari-hari..Muh Rizky Aulia Gobel” dengan sub judul “Solusi Memantau Perkembangan Anak Melalui Blog” ini seluruh materinya diambil dari blog Rizky (http://muhrizkyauliagobel.blogspot.com). Dimulai dari hari lahirnya Rizky di tahun 2002 hingga tahun 2006 ketika ia berusia tiga tahun 4 bulan. Semuanya berisi 74 catatan harian plus satu kata pengantar.

Seperti telah diungkap di atas, seluruh catatan ditulis dalam sudut pandang sang anak (Rizky) sebagai orang pertama. Hal ini membuat seluruh catatan dalam buku ini baik dalam penuturan kata maupun ekpresinya terkesan lucu, ringan, khas anak-anak. Kisah-kisah yang ditulis dalam buku inipun aneka warna. Mulai dari kelahiran Rizky, pindah rumah, piknik ke Seaworld, motor ayah baru, bencana tusnami, pembantu yang minggat, pakde yang kena santet, hingga berburu kecoa. Semua terangkum dengan jujur, apa adanya, ringan, terkadang membuat terharu, terkadang membuat lucu dan tak terduga.

Walau sekilas tampaknya buku ini hanya berisi catatan harian yang biasa-biasa saja, namun jika pembaca lebih peka menangkap makna dibalik pengalaman-pengalaman yang dialami Rizky dan keluarganya dalam buku ini maka kita akan menemukan sebuah potret sosial dari sebuah keluarga sederhana dimana ayah bekerja, ibu yang mengurus anak beserta lingkungan masyarakat urban yang ikut terekam dalam kisah-kisahnya.

Tengoklah kisah ketika BBM naik yang terdapat dalam catatan yang berjudul “Dampak Dramatis Harga BBM Naik” dimana kerluarga Rizky harus prihatin dan berhemat dalm banyak hal “ Kita, semua sedang prihatin, Nak,” kata ayahku dengan mata berkaca-kaca saat melihat tontonan berita di layar TV yang menampilkan masyarakat penerima kompensasi BBM berebutan mengambil bagiannya. (hal 162)

Realita sosial juga tertangkap dalam catatan berjudul “Menemani Ayah Bercukur”, dimana Rizky mendengar obrolan antara ayahnya dengan tukang cukurnya yang mengungkap carut marut dan sebuah ironi yang terjadi di negeri ini dimana anak-anak menderita busung lapar, stok BBM habis, ongkos pendidikan makin mahal, bunuh diri karena tak sanggup bayar sekolah, harga-harga naik, sementara gaji anggota DPR bisa mencapai 38 juta per bulan! (hal 142).

Beberapa hal yang mungkin menjadi ganjalan dalam buku ini adalah jika ada pembaca yang mempersoalkan usia Rizky yang baru berusia 3 tahun dengan apa yang dipikirkannya seperti yang ditulis dalam buku ini. Rasanya mustahil, seorang anak berusia 3 tahun mampu berpikir dan memahami apa yang diobrolkan oleh ayah dan ibunya ketika BBM melambung tinggi atau ketika ayahnya membahas realita sosial yg terjadi di negeri ini dengan seorang tukang cukur! Rasanya tak mungkin ! Sepertinya apa yang dipikirkan oleh Rizky dalam buku ini baru akan terpikirkan olehnya ketika ia berusia remaja atau pra-remaja.

Selain itu sub-judul buku ini ”Solusi Memantau Perkembangan Anak Melalui Blog” mungkin saja bisa menyesatkan calon pembacanya. Bisa saja sub judul ini akan menggiring calon pembaca buku ini beranggapan bahwa buku ini adalah buku panduan bagaimana memantau perkembangan anak melalui blog. Padahal buku ini berisi catatan harian seorang ayah yang ditulis dalam sudut pandang anaknya

Namun terlepas dari ganjalan diatas, buku ini cukup menghibur dan menarik untuk dibaca oleh siapa saja. Apa yang dialami Rizky dan keluarganya ditulis dengan detail, jujur dan apa adanya sehingga pembaca seakan diajak masuk dalam kehidupan keluarga ini lewat kacamata seorang anak yang lucu dan polos. Bukan tak mungkin pengalaman-pengalaman keluarga Rizky yang terekam dalam buku ini pernah juga kita alami sehingga kita seakan membaca kisah kita sendiri. Dan seperti yang diharapkan oleh penulisnya semoga buku ini tidak hanya sebagai representasi aktivitas keseharian Rizky, tetapi juga menjadi bahan renungan bagi semua pembacanya (hal11).

@h_tanzil

Thursday 4 January 2007

My Name is Red

Judul : My Name is Red (Namaku Merah Kirmizi)
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Atta Verin
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : 725 hlm
Harga : Rp. 89.900,-




Sejarah mencatat, Sultan Ustmaniyah Murat III (1571-1595) dikenal sebagai sultan yang paling tertarik pada buku dan seni miniatur. Di masa kekuasaannya ia memerintahkan para miniaturis (pembuat ilustrasi buku) kenamaan di negerinya untuk membuat Kitab Keterampilan, Kitab Segala Pesta dan Kitab Kemenangan yang dikerjakan di Istanbul. Para miniaturis Ustmaniyah yang paling menonjol, termasuk Osman sang Miniaturis dan murid-muridnya, ikut andil dalam pengerjaan buku ini.

Penggalan sejarah inilah yang oleh Orhan Pamuk (54 thn) - peraih nobel sastra 2006 asal Turki - dijadikan sebagai ide utama novel My Name is Red . Dikisahkan saat itu Sultan menugaskan Enisthe Effendi salah seorang miniaturis (pembuat ilustrasi buku) terkenal untuk membuat sebuah buku rahasia yang dihiasi ilustrasi-ilustrasi indah untuk merayakan kejayaannya. Tindakan sultan ini memotong jalur resmi dimana biasanyaTuan Osman selaku Iluminator Kepala Istana yang diberi wewenang untuk mengerjakan buku-buku Sultan. Dalam mewujudkan proyek sultan ini Enisthe dibantu oleh empat miniaturis lainnya yang masing-masing dikenal dengan julukan ; Elok, Zaitun, Bangau, dan Kupu-kupu.

Novel ini diawali dengan terbunuhnya Elok , salah satu dari keempat miniaturis yang bekerja dibawah pimpinan Enisthe Effendi. Pembunuhan ini menimbulkan keresahan diantara para miniaturis lainnya karena mereka mennganggap hal ini ada kaitannya dengan proyek pengerjaan buku Sultan yang dibuat dengan gaya Eropa yang pada masa itu dianggap sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.

Lalu dikisahkan Hitam, salah satu murid dan keponakan Enisthe kembali ke rumah pamannya sepulang dari pengelanannya ke berbagai tempat selama dua belas tahun. Sejak lama Hitam telah menaruh hati pada Shekure, putri “Enisthe”-nya. Sepulang dari pengelanaannya pun ia masih menyimpan cintanya pada Shekure. Sayangnya Shekure telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Namun belum pulangnya suami Shekure selama bertahun-tahun dari peperangan membuka peluang bagi Hitam untuk merebut Shekure ke pelukannya.

Di tengah usaha Hitam merebut cinta Shekure dan belum terungkapnya siapa pembunuh Elok, Enisthe terbunuh secara mengenaskan. Namun hal ini tak menghalangi niat Hitam untuk menikahi Shekure. Dengan siasat liciknya akhirnya Hitam berhasil menikahi Shekure, namun Shekure belum mengijinkan Hitam untuk tidur seranjang dengan dirinya hingga Hitam berhasil menemukan siapa pembunuh ayahnya.

Ketika kematian Elok dan Enisthe sampai ke telinga Sultan. Ia memerintahkan Hitam selaku murid Ernisthe dan Tuan Osman selaku kepala bengkel miniaturis Istana mengungkap siapa pembunuhnya. Mereka diberi waktu 3 hari untuk menemukan pembunuhnya, jika gagal nyawa mereka dan para miniaturis lainnya akan jadi gantinya.

Satu-satunya petunjuk yang ditinggalkan pembunuhnya adalah gambar seekor kuda dengan hidung yang terpotong. Hal ini menyeret ketiga miniaturis lainnya (Bangau, Zaitun, Kupu-kupu) menjadi tersangka utama. termasuk Untuk memperkaya penyelidikannya Hitam dan Tuan Osman diizinkan untuk masuk kedalam jantung Istana dimana terdapat ruang penyimpanan harta yang berisi buku-buku berilustrasi indah Kitab Para Raja yang berisi lukisan-lukisan menakjubkan, yang diimpikan bisa dilihat sekali saja oleh para miniaturis selama seumur hidupnya




Novel My Name is Red ini bisa dikatakan novel yang kaya akan perspektif. Novel ini bisa dibaca sebagai novel sejarah peradaban islam, misteri, intrik sosial, dan teka-teki filosofis. Pamuk mengemas kisah dalam novel ini dengan sangat menarik. Narator dalam novel ini berganti-ganti dalam setiap babnya, masing-masing diberi judul sesuai dengan naratornya seperti : Aku Adalah Sesosok Mayat, Aku Akan Disebut Seorang Pembunuh, Aku Dinamai Hitam, bahkan benda-benda matipun menjadi narator dalam novel ini seperti : Aku adalah Sekeping Uang Emas, Aku Adalah Merah. dll. Masing-masing narator bertutur, bercerita dan berargumen mengenai peristiwa pembunuhan dan keadaan di sekelilingnya menurut sudut pandangnya masing-masing. Ada yang realis ada pula yang surealis. Uniknya walau si pembunuh turut menjadi narator, identitas si pembunuh tetap tak terduga hingga bab-bab terakhir.

Di halaman-halaman awal pembaca seolah diajak mengambil kesimpulan bahwa novel ini adalah novel misteri karena Pamuk membukanya dengan bab “Aku Adalah Sesosok Mayat”. Kalimat permbuka novel inipun memikat dan mengundang penasaran pembacanya karena dinarasikan oleh tokoh yang telah meninggal.

Kini aku hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walau sudah lama sekali aku menghembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji itu
. (hal 17)

Namun Pamuk tak hanya mengajak pembacanya untuk larut dalam cerita misteri pembunuhan, di bagian berikutnya pembaca diajak beralih ke kisah percintaan yang membara antara Hitam dan Shekure, lalu pembaca juga akan disuguhkan debat filosofis yang menarik akibat benturan budaya Timur dan Barat khususnya dalam hal gaya melukis dimana di jaman itu melukis dengan gaya kaum Frank (Eropa) yang menggunakan metode perspektif tiga dimensi dimana benda digambar sebagaimana terlihat oleh mata telanjang dianggap penistaan terhadap agama islam yang hanya boleh membuat gambar/lukisan dengan teknik dua dimensi saja.

Namun yang mengejutkan dari semua itu – sebuah akibat yang wajar dalam memperkenalkan pemahaman Frank dalam lukisan kita – adalah menggambarkan potret sultan kita dengan ukuran sesungguhnya, dan wajahnya dilukiskan dengan semua detailnya! Tepat seperti yang dilakukan para pemuja berhala. (hal 684)




Wajah Sultan Murat III dilukis dalam gaya Eropa
(perspektif tiga dimensi)










Wajah Sultan Murat III dilukis sesuai gaya seniman Ustmaniyah abad ke 16
(perspektif dua dimensi)





Hal ini menimbulkan pro dan kontra, sebagian miniaturis khususnya mereka yang ditugaskan membuat buku Sultan mau tak mau harus membuat lukisan dengan gaya barat sesuai dengan arahan Enisthe, namun sebagian miniaturis senior menolak melukis dengan gaya ini dan rela membutakan matanya sendiri agar tak terpengaruh oleh lukisan gaya Eropa.

Selain kisah misteri, roman, debat budaya dan filosofis, pembaca juga akan disuguhkan detail-detail menarik tentang estetika seni hias buku, sehingga keeksotisan buku-buku berilustrasi yang dibuat di abad 16 dimana buku-buku diberi ilustrasi oleh tangan-tangan terampil para miniaturis terungkap secara indah. Tak ketinggalan beberapa kisah dongeng klasik dunia Timur juga terceritakan di novel ini



Gbr diatas adlh ilustrasi pd buku yang dibuat oleh miniaturis Ustmaniyah abad ke-16

Kesemua elemen di atas membentuk novel ini menjadi rangkaian cerita yang menarik dan enak dibaca. Semua itu diramu secara puitis dan romantis dengan cinta, seks, dan drama.
Beragamnya tokoh-tokoh yang masing-masing menjadi narator dalam buku ini walau awalnya tampak berdiri sendiri, kelak Pamuk akan menyatukan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan memberikan kejutan yang tak terduga di akhir ceritanya.

Satu hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan pembacanya adalah judul buku ini “My Name is Red (Namaku si Merah Kirmizi), siapa dan apa sebenarnya yang dimaksud si “Merah” dalam judul buku ini ? Memang ada bab tersendiri dimana si Merah ini digambarkan sebagai warna dalam arti yang sesungguhnya. Namun rasanya tak cukup menjelaskan apa dan siapa Merah yang dimaksud dalam judul buku ini. Tampaknya Pamuk sengaja mengajak pembacanya untuk menafsirkan sendiri apa, siapa dan mengapa novel ini diberi judul My Name is Red ?

Rasanya membaca sekali saja novel ini tidaklah cukup, banyak detail-detail menarik yang tetap mengasyikan untuk dibaca berkali-kali. Dan lagi novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, tak ditemukan kejanggalan dalam alih bahasanya. Salut untuk kerja keras penerjemah dan editor novel ini (Atta Verin & Anton Kurnia) yang tampaknya telah berhasil mengalih bahasakan novel tebal yang menarik ini dengan baik.

Sedikit yang mungkin dapat menjadi halangan terbacanya novel ini adalah harganya yang relatif mahal (Rp. 89.900,-). Mungkin penerbit perlu lebih menyiasati agar novel yang kaya akan perspektif ini dapat dijual dengan harga yang lebih bersahabat sehingga dapat terjangkau dibeli dan dibaca oleh semua pecinta sastra.

Novel yang berjudul asli Benim Adim Kirmizi yang dikerjakan oleh Orhan Pamuk (penulis asal Turki) selama 6 tahun ini terbit pada tahun 1998. Pada tahun 2001 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Erdgar M. Goknar sebagai My Name is Red. Tampaknya novel ini diapresiasi dengan baik oleh khalayak sastra dunia, setidaknya novel ini telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan dianugerahi berbagai penghargaan sastra internasional, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Perancis), Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia). Dan sebagai puncaknya novel ini pula yang turut mengantar Pamuk sebagai peraih nobel Sastra 2006.

@h_tanzil
 
ans!!