Monday 28 August 2006

Revolusi Di Nusa Damai


Judul : Revolusi Di Nusa Damai
Penulis : K’tut Tantri
Penerjemah : Agus Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : II, Agustus 2006
Tebal : 368 hlm ; 23 cm
Harga : Rp. 30.000,-


“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia – yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri. Saya juga ingin menandaskan pada Belanda – dan sedikit banyak juga pada Inggris – mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.” (hal 242)

Kalimat itu diucapkan oleh K’tut Tantri kepada para wartawan dari dalam dan luar negeri yang mewawancarinya perihal keterlibatannya dalam menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia melalui corong Radio Pemberontak.

K’tut Tantri adalah nama lain dari seorang wanita warga negara Amerika keturunan Inggris yang pernah tinggal lima belas tahun di Indonesia dari 1932-1947. Awalnya K’tut Tantri yang hobi melukis ini tak puas dengan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di Amerika Serikat. Ia memiliki jiwa petualang yang membuatnya selalu ingin berkelana ke tempat-tempat jauh sambil melukis apa yang dilihatnya. Keinginannya semakin membuncah ketika ia menonton film berjudul Bali, The Lost Paradise. Seolah menemukan jalan hidupnya ia segera menuju Bali dan memutuskan untuk menetap disana.

Takdir membawanya bertemu dengan Raja Bali yang mengangkatnya menjadi anak keempat dan memberinya nama baru ‘K’tut Tantri’. Perilaku masyarakat Bali membuat dirinya kerasanan untuk tetap tinggal disana, iapun membangun sebuah hotel di Kuta untuk membiayai hidupnya, bukan hal yang mudah karena pemerintahan kolonial Belanda tak menyukai dirinya bergaul rapat dengan penduduk setempat. Ia juga melihat bagaimana penduduk Bali harus hidup dalam kemiskinan akibat sistem kolonial yang mengabaikan kesejahteraan tanah jajahannya. Anak Agung Nura, putera Raja Bali menggerakkan hatinya untuk turut dalam kancah politik guna menentang pemerintahan Belanda.

Di zaman pendudukan Jepang, K’tut Tantri ikut dalam gerakan bawah tanah guna menumbangkan kekuasaan Jepang. Malang nasibnya karena ia ketahuan oleh Kampetai dan dipenjara selama kurang lebih dua tahun, disiksa dan dianiyaya melebihi atas-batas peri kemanusiaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia turut berjuang bersama-sama Bung Tomo dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia di Radio Pemerontak –Surabaya. Kemudian bekerja untuk Kementerian Penerangan dan Pertahanan di Jogya. Tugasnya antara lain menyebarluaskan informasi keadaan Indonesia dalam bahasa Inggris dalam pidato radio, menembus blokade Belanda menuju Singapura, menyeludupkan utusan Liga Arab masuk Indonesia dan akhirnya menuju Australia guna mencari dukungan internasional.

Seluruh kisah kehidupannya diatas itulah yang ia tuangkan dalam novel dokumenternya Revolt in Paradise yang pertama kali diterbitkan oleh New York Harper, USA pada tahun 1960. Dalam bukunya ini K’tut Tantri membagi kisahnya dalam tiga bagian besar yang meliputi periode 1932-1941 (Melanglang Buana), 1942-1945 (Firdaus Yang Hilang), dan 1945-1948 (Berjuang demi Kemerdekaan).

Di bagian pertama (Melanglang Buana) pembaca akan diajak melihat keeksotisan natural penduduk Bali yang terekam dengan baik, ketika ia untuk pertama kalinya menyusuri Bali dengan mobilnya ia melihat bahwa; Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal sementara mereka berjalan beriringan sat-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala (hal 25)

Sedangkan kehidupan dalam puri raja anak Agung Gede Agung beserta kegiatannya juga terekam dengan menarik dalam buku ini. Tak hanya itu dalam buku inipun pembaca akan mendapat gambaran mengenai pandangan pemerintahan kolonial terhadap masyarakat Bali, hal ini terungkap dalam percakapan seorang asisten kontrolir Belanda pada K’tut Tantri menanggapi keinginan K’tut Tantri untuk tinggal bersama masyarakat Bali. “Jika Anda mencoba hendak hidup seperti orang Bali, pengaruhnya akan buruk sekali terhadap pribumi dan hormat mereka terhadap orang kulit putih. Percayalah pemerintah kolonial pasti tidak suka. (hal 31)

Berbagai cerita menarik terungkap di bagian ini, selain pesona keindahan budaya Bali bagian ini juga mengungkap sepak terjang K’tut Tantri ketika ia berusaha untuk mewujudkan impiannya dengan mendirikan hotel di daerah Kuta Bali walau hal ini tidak mudah karena ditentang dengan keras oleh pemerintah Belanda.

Di bagian kedua (Firdaus Yang Hilang) pesona dan keindahan alam Bali tak lagi terceritakan, dimulai dengan kisah masuknya Jepang ke pulau Bali, dibagian ini pembaca akan disuguhkan dengan kisah tragis yang dialami oleh K’tut Tantri selama ia berada dalam tawanan Jepang di Surabaya. Penjara yang kotor dan siksaan yang diluar perikemanusiaan harus dialaminya karena ia dituduh sebagai mata-mata Amerika. Meringkuk dalam penjara pun bukan main menderitanya karena sepanjang hari, dari pukul enam hingga pukul sembilan malam para tawanan tidak diizinkan untuk duduk, melainkan harus berlutut, tak peduli betapa nyerinya otot-otot mereka. (hal 160). Belum lagi siksaan-siksaan keji saat interogasi dimana K’tut Tantri harus ditelanjangi, diikat, dipukul dan digantung hingga sendi-sendinya hampir putus hingga beberapa kali jatuh pingsan.

Pada bagian ketiga (Berjuang demi Kemerdekaan), kisah dalam buku ini semakin menarik dan menegangkan karena selepas dari tawanan Jepang K’tut Tantri bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di bawah pimpinan Bung Tomo. Ia bertugas meyampaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam bahasa Inggris melalui siaran Radio Pemberontak dimana di tempat ini juga Bung Tomo mengadakan siaran dua kali setiap malam untuk membakar semangat pejuang-pejuangnya. Kesannya ketika bertemu dengan Bung Tomo terungkap sbb : Orangnya tampan, bertubuh kecil. Umurnya saat itu paling banyak baru 26 tahun. Tindak-tanduknya menarik, selalu sederhana serta polos. Sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Sukarno. (hal 223)

Selain dengan Bung Tomo, bagian ini mengisahkan pula pertemuan dan persahabatannya dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain Amir Syarifudin, dan Presiden Soekarno. Bahkan ia sempat diminta untuk membuat naskah pidato radio bahasa Inggris yang akan dibacakan oleh Presiden Soekarno. Kesan terhadap pertemuannya dengan Presiden Soekarno membuat Kut Tantri menulis dalam buku ini bahwa Presiden Soekarno adalah sosok yang pandai mengambil hati wanita, memiliki selera humor yang tinggi, rendah hati dan amat mencintai ibunya (hal 245)

Hal menarik lainnya adalah bagaimana serunya ketika K’tut Tantri berusaha membongkar usaha sebuah komplotan untuk menjatuhkan Bung Karno, atau ketika ia menerima tugas untuk berangkat menuju Australia guna mencari dukungan internasional. Selain diajak merasakan ketegangan yang dialaminya berbagai kisah-kisah menarik juga tersaji dalam bagian ini, seperti ketika ia dibuatkan paspor Indonesia dengan nomor urut 1 yang berarti merupakan paspor pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan orang-orang Indonesia di Singapura sebelum berangkat menuju Australia juga terungkap di bagian ini. Salah satu yang menarik sekaligus ironis mungkin pengalamannya menemui kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pedagang-pedagang asal Indonesia, hal ini membuat hatinya pedih karena sementara para koruptor asal indonesia hidup dalam kemewahan, ribuan rakyat jelata di Indonesia, yang bertempur dengan pakaian compang-camping, berjuang penuh lumpur dengan bersenjatakan golok dan bambu runcing untuk mempertahankan kemerdekaan (hal 328).

Kisah K’tut Tantri dalam buku ini berakhir ketika ia kembali ke New York, Amerika Serikat, ia berada di negaranya sendiri, namun hatinya merasa hampa dan rindu pada Indonesia yang merupakan tanah air keduanya. Kerinduan dan rasa cintanya pada Indonesia inilah yang menggerakkan dirinya untuk membuat memoar yang kemudian diterbitkan dengan berjudul Revolt in Paradise (1965). Tak disangka buku ini mendapat respon yang baik dari pembacanya baik di negaranya maupun di dunia internasional, sedikitnya buku ini telah diterjemahkan lebih dari 15 bahasa dunia.

Di tahun 60-an, K’ut Tantri mengunjungi Indonesia dan diterima oleh para pejabat pemerintahan termasuk oleh Presiden RI Soekarno. Di tahun 1964 buku Revolt in Paradise untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Major Abdul Bar Salim dan diterbitkan oleh Mega Bookstore. Setelah itu buku ini kemudian diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung pada tahun 1965

dengan judul Revolusi di Nusa Damai. Buku ini mendapat sambutan yang baik, terbukti hanya dalam waktu 6 bulan.buku ini dicetak ulang. Tahun 1982 hak cipta buku ini diambil alih oleh Gramedia dan dicetak dalam dua versi bahasa (Inggris dan Indonesia). Dan kini buku tersebut kembali dicetak ulang dengan kemasan baru dengan cover yang menggambarkan wanita kulit putih yang menggenakan pakaian tadisional Bali.

Buku yang kembali diterbitkan ulang oleh Gramedia ini memang sudah seharusnya hadir dan dibaca oleh masyarakat Indonesia mengingat nama K’tut Tantri kini telah dilupakan orang. Yang agak disayangkan adalah tidak adanya foto K’tut Tantri dalam buku ini. Tentunya karena buku ini bukan sekedar kisah fiksi dan K’tut Tantri bisa dikatakan sebagai salah satu pelaku sejarah di masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia, pemuatan foto K’tut Tantri tentunya akan memberi bobot sejarah yang lebih dalam pada buku ini. Tentunya bukan hal yang sulit untuk memperoleh foto diri K’tut Tantri, apalagi jika kita melihat cetakan tahun 1965, di buku tersebut disajikan beberapa buah foto K’tut Tanri termasuk ketika ia diterima oleh Presiden Soekarno di tahun 60-an.

Sejumlah kesalahan ketik ditemui dalam buku ini. Tidak terlalu mengganggu namun menimbulkan kejanggalan karena biasanya buku-buku terbitan Gramedia ‘bersih’ dari kesalahan-kesalahan ketik.

Namun sekali lagi usaha penerbit untuk menerbitkan ulang buku ini patut dihargai setinggi-tingginya. Setidaknya, kini nama K’tut Tantri, salah seorang Indonesianis yang terlupakan, yang telah banyak berjasa dalam menyuarakan kemerdekaan indonesia bisa kembali dikenang oleh rakyat Indonesia yang pernah diperjuangkannya.

K’tut Tantri, yang juga dikenal dengan julukan ‘Soerabaja Sue’ meninggal dunia di usianya yang ke 89 di Sydney Australia pada tahun 1997. Kecintaannya pada Indonesia dibawanya hingga mati. Peti matinya ditutup bendera Merah Putih berhias warna khas Bali. Jasadnya dikremasi di Bali dan abunya ditebar disana.

Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan. (K’tut Tantri, hal 355)






@h_tanzil

Tuesday 22 August 2006

Raumanen


Judul : Raumanen
Penulis : Marianne Katoppo
Penerbit : Metafor Publishing
Cetakan : 2006
Tebal : ix + 134 hlm

Jakarta tahun 60-an. Sebelum hiruk pikuk politik terjadi di negara ini, terkisah seorang gadis Menado yang cantik, rajin, dinamis, indpenden. Raumanen namanya. Nama ini berasal dari bahasa Minahasa kuno yang berarti “pemudi pemberi kuncup”. Selain cantik Raumanen adalah aktifis kampus yang dikenal sangat loyal terhadap organisasinya.

Dalam suatu kesempatan Raumanen bertemu dengan Monang, pemuda Batak flamboyan, kaya, palyboy dan doyan pesta. Seperti kebiasaan Monang yang selalu mendekati gadis-gadis cantik, demikian pula yang dia lalukan dengan Raumanen. Berawal dari pertemuan di sebuah pesta, Monang yang mudah terpesona oleh kecantikan wanita, tergerak untuk mendekati Raumanen dan berniat untuk menaklukkannya.

Pendekatan Monang membuahkan hasil, walau awalnya Manen menganggap Monang sebagai sahabatnya, lambat laun iapun mencintainya. Sebetulnya Manen menjadi mangsa yang begitu empuk bagi Monang, si perebut hati wanita. Dalam salah satu kesempatan mereka berdua menuju ke Puncak, ketika hendak pulang, tiba-tiba mobil Monang mogok di tengah hujan deras dan mengharuskan mereka berteduh di sebuah bungallow. Bisa ditebak apa yang terjadi pada mereka berdua. Manen menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan, untungnya Monang segera menyatakan akan bertanggung jawab dan siap menjadikan Manen sebagai istrinya.

Apakah sesederhana itu kisah novel ini? Tentu saja tidak, disinilah konflik mulai timbul. Walau Monang menyatakan tanggung jaawabnya, keraguan timbul di hati Manen, apakah Monang benar-benar mencintainya atau sekedar bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya ? Usaha Monang mendekatkan dirinya pada adik-adiknya, mencarikan rumah untuk rumah tangga mereka, tak mengusir keraguannya, belum lagi rasa bersalah pada kejadian di Puncak membuat jiwanya tertekan . Aku tak tahu, pikirnya. Seharusnya aku bahagia, karena Monang sudah membuka jalan ke arah pernikahan kami. Tetapi aku tidak bahagia, cuma merasa bersalah karena kejadian di bungalow itu. Lagi pula aku takut. Takut masa depan. Haruskah aku menjadi istri Monang sekarang? Membagi hidupku dengannya, mengarahkan cita-citaku agar serasi dengan cita-citanya? Sedangkan aku tak tahu apakah ia mencintaiku. (hlm 65)

Lambat laun keraguan di hati Manen semakin menjadi, hubungannya dengan Monang tidak dilihatnya sebagai hubungan cinta, melainkan semata-mata sebagai suatu ‘tanggung jawab’ karena mereka sudah ‘terlanjur’ melakukan hubungan yang terlarang. Perasaan ini diperkuat dengan sikap Monang yang selalu berguarau secara sinis dalam setiap percakapan dengannya, alih-alih Monang merayunya, ia malah sering membesar-besarkan kekurangan-kekurangan yang dimiliki Manen.

Selain masalah dirinya dengan Monang, perbedaan suku antara mereka menjadi rintangan yang sulit ditembus. Di tahun 60-an persamaan suku dalam memilih pasangan hidup masih merupakan syarat yang mutlak. Begitupun dengan orang tua Monang Waktu itu memang Republik masih muda, mungkin saja semboyan “Bhineka Tunggal Ika” belum meresap ke hati warganya. Bagi Manen yang telah memiliki wawasan yang luas hal ini memberikan kesimpulan dalam dirinya bahwa, hampir 20 tahun sesudah revolusi, sesudah dua windu lebih penduduk Nusantara berpengalaman hidup sebagai “orang indonesia”, ternyata beban prasangka serta wasangka terhadap suku lain masih belum dapat dilepaskan dengan begitu mudah. “Orang Mana?” dan “Anak Siapa?” masih tetap jadi nada-nada pertama suatu perkenalan baru (hlm 22).

Konflik semakin memuncak ketika akhirnya Manen hamil dan Monang diperhadapkan pada pilihan yang sulit karena harus menerima pilihan orangtuanya dalam menentukan pasangan hidup baginya.

Tema yang diangkat oleh penulisnya dalam novel ini memang tema yang biasa, namun ditangan penulis Mariaenne Katopo cerita cinta ini diramu dan diceritakan dengan menarik. Di lembar-lembar pertama halaman novel ini Manen bertutur mengenai dirinya di masa kini yang kini merasa kesepian ditinggal teman-temannya dan memendam rindu pada Monang. Tentu saja hal ini akan membuat pembaca segera mengetahui bagaimana akhir dari kisah cinta mereka. Namun novel ini tetap menarik karena Manen menuturkan kisahnya sedemikain rupa sehingga pembaca akan terus menebak-nebak dimana kini Manen berada. Sebelum pembaca menyadari dan mengetahui apa yang tejadi dengan Manen dan dimana kini Manen berada, di bab selanjutnya giliran Monang yang bercerita. Sama seperti Manen, Monganpun memendam rindu yang dalam pada Manen. Padahal sudah sepuluh tahun, Raumanen. Sudah sepuluh tahun, hampir seperempat hidupku, aku terpaksa hidup terpisah darimu. (hlm 7)

Setelah melewati dua bab pertama, barulah novel ini kembali ke masa lalu penulis, saat Manen bertemu dengan Monang, namun terkadang, Manen kembali mengambil alih peran penutur dan kembali bertutur mengenai keadaannya kini dengan kalimat-kalimat yang mengundang rasa penasaran pembacanya untuk mengetahui bagaimana keadaan Manen ketika ia sedang menuturkan kisahnya dan bagaimana akhir dari kisah ini.

Selain keunikan dari gaya penulisan novel ini, novel yang ditulis dengan tuturan yang indah, halus, lembut namun tidak cengeng ini mengajak pembacanya untuk membedah makna cinta dan merubah pandangan kita tentang konsep-konsep cinta. Pergulatan batin tokoh-tokoh dalam Raumanen disajikan secara cermat, dan tabrakan-tabrakan yang terjadi akibat masalah kesukuan menjadikan novel ini sebuah saksi kondisi sosial waktu itu yang mungkin saja masih terjadi hingga kini. Novel ini semakin menarik karena dibalut dengan masalah identitas kesukuan, keindonesiaan, bahkan keimanan beserta konflik-konflik yang mengungkap batas ketegaran dan jati diri seorang perempuan terpelajar yang diperhadapkan pada kepengecutan seorang lelaki yang harus tunduk pada tradisi kesukuan.

Novel ini juga menyajikan ending yang menghentak sehingga setelah dikejutkan dengan ending ceritanya, bukan tak mungkin pembaca yang masih penasaran akan kembali membaca ulang bab-bab berjudul Raumanen dan Monang yang berisi penuturan-penuturan Manen dan Monang di masa kini untuk menemukan kalimat-kalimat tersembunyi yang awalnya tidak disadari oleh pembaca bahwa kalimat-kalimat tersebut mengarah pada ending cerita.

Ketika pertama kali novel ini diterbitkan (1977), Raumanen mengundang kontroversi karena penggambarannya yang jujur tentang hubungan lelaki dan perempuan dan tentang ketegangan antar agama dan suku – hal-hal yang saat itu masih merupakan masalah yang mungkin tabu untuk diungkapkan bagi masyarakat di Indonesia . Namun dibalik riuhnya kontroversi yang berkembang terhadap isi novel ini, novel ini memperoleh apresiasi yang sangat baik dari kalangan sastrawan, hal ini terbukti dengan diraihnya tiga hadiah sastra bergengsi baik dari dalam dan luar negeri yaitu : Pemenang Sayembara Menulis Dewan Kesenian Jakarta 1975, Hadiah yayasan Buku Utama 1978, dan Sea Write Award 1982 dimana Marianne Katoppo merupakan wanita novelis ASEAN pertama yang memenangkan hadiah tersebut.

Kini setelah karya besar ini lama dilupakan orang hampir 30 tahun lamanya, Raumanen kembali hadir dalam cover dan kemasan yang menarik oleh penerbit Metafor. Tak hanya Raumanen, Metafor juga telah menerbitkan ulang Orang-Orang Bloomington (Budi Darma), Stasiun (Putu Wijaya). Semoga dengan diterbitkannya kembali karya-karya, karya-karya monumental yang pernah mengguncang jagad sastra nasional, karya-karya tersebut akan dapat terus terbaca dari generasi ke generasi. Kita berharap Metafor memiliki nafas panjang untuk terus konsisten menerbitkan karya-karya sastra bermutu seperti yang kini telah dilakukannya.

@h_tanzil

Monday 14 August 2006

Sang Pemimpi


Judul : Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : x + 295 hlm
Cetakan : I, Juli 2006
Harga : Rp. 38.000,-


Jauh di pedalaman pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan sampai ke Afrika.! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau bagai punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja untuk mewujudkan mimpi mereka, hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup, kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.

Novel kedua Andrea Hirata “Sang Pemimpi” ini bertutur bagaimana ketiga anak kampung Melayu di kawasan PN Timah Belitong menjalani hari-hari mereka bersama mimpi-mimpinya. Karena masih merupakan kelanjutan dari novel pertamanya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi pun masih bertutur mengenai memoar kehidupan Ikal, dalam menapaki kehidupannya. Jika dalam Laskar Pelangi tokoh Ikal yang ketika SD hingga SMP ditemani oleh kesepuluh teman-temannya yang dinamai Laskar Pelangi, kini Ikal yang telah bersekolah di SMA ditemani oleh dua orang temannya Arai dan Jimbron.

Arai sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Ikal, kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Arai tak memiliki saudara kandung sehingga setelah kematian kedua orang tuanya Arai diasuh oleh kedua orang tua Ikal di kampungnya sehingga bagi Ikal, Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik baginya, Arai memiliki pribadi yang terbuka dan cerdas. Sedangkan Jimbron adalah sosok rapuh, ia tak secerdas Ikal dan Arai, ia gagap dalam berbicara semenjak kematian ayahnya. Jimbron sangat terobsesi oleh kuda, padahal di kampungnya tak ada seekorpun kuda bisa ditemui, nantinya kisah Jimbron dan obsesinya ini menjadi bagian yang menarik dan lucu pada buku ini

Ikal, Arai dan Jimbron memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, mereka bahu membahu mewujudkan mimpi mereka, saat itu PN Timah Belitong sedang dalam keadaan terancam kolaps, gelombang PHK besar-besaran membuat banyak anak-anak tidak bisa meneruskan sekolah mereka karena orang tuanya tak sanggup membiayai. Mereka yang masih ingin bersekolah harus bekerja. Demikian juga dengan ketiga pemimpi, begitu tamat SMP mereka ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena di kampung mereka tak ada SMA, mereka harus merantau ke Magai, 30 kilometer jaraknya dari kampung mereka. Untuk itu mereka tinggal bersama-sama dalam sebuah los kontrakan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mereka bekerja mulai dari penyelam di padang golf, office boy di sebuah kantor pemerintah hingga akhirnya bekerja sebagai kuli ngambat, yang bertugas menunggu perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan. Menurut hirarki pekerjaan di Magai, kuli tambat adalah pekerjaan yang paling kasar yang hanya akan digeluti oleh mereka yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan lain. Hal ini membuktikan bahwa ketiga pemimpi ini memiliki hati yang sekeras tembaga untuk bisa bersekolah untuk mewujudkan mimpi mereka.

Kisah memoar kehidupan Ikal dan kedua sahabatnya dalam mewujudkan impian inilah yang tersaji dalam novel ini. Semua kisahnya tersaji dalam 18 bab yang tidak terlalu panjang, masing-masing memiliki kisahnya sendiri, namun ada juga beberapa bab yang sambung menyambung. Beberapa bab menyuguhkan cerita-cerita yang bersahaja seperti pada bab Baju Safari Ayahku yang mengisahkan bagaimana ayah Ikal yang tak banyak bicara namun begitu mencintai dirinya, hal ini terbukti ketika ayahnya harus mengayuh sepeda sejauh 30 km untuk mengambil rapor ikal dan Arai. Ketika hari yang ditentukan tiba ayah Ikal bahkan harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan dirinya, dikenakannya satu-satunya pakaian Safari empat saku kesayangannya yang telah disetrika dengan rapih, baginya hari itu adalah hari yang terpenting bagi hidupnya. Kesungguhan hati sang ayah dalam mengambil rapor Ikal dan Arai tak berbuah sia-sia karena mereka masing-masing menduduki rangking ketiga dan kelima. Kisah yang tersaji dalam bab ini sangatlah indah, secara piawai Andrea meramu kalimat-kalimatnya dengan indah sehingga pembaca akan merasakan bagaimana bangganya Ikal memiliki ayah yang begitu mencintainya.

Masih ada beberapa kisah lagi yang menggugah, namun ada juga beberapa kisah lucu yang membuat pembacanya tersenyum dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca pengalaman-pengalaman lucu mereka, misalnya pada Bab Bioskop yang menceritakan kisah kenakalan Ikal dan kawan-kawannya ketika secara sembunyi-sembunyi masuk kedalaam gedung bioskop untuk menonton film-film murahan yang mengumbah syahwat. Tentu saja ini petualangan yang berbahaya karena menonton bioskop merupakan salah satu larangan paling keras dari Pak Mustar, guru mereka. Kisah yang lucu dan seru ini bersambung ke 2 bab berikutnya yaitu Action dan Spiderman. Khusus di Bab Spiderman pembaca akan dibuat tertawa karena obsesi Jimbron terhadap kuda melahirkan sebuah kisah yang lucu dengan ending yang membuat pembaca tertawa terbahak-bahak.

Selain itu, disela-sela kisah-kisah ketiga pemimpi yang terdapat dalam buku ini, pembaca juga akan disuguhi potret landskap pulau Belitong lengkap dengan kondisi sosialnya, salah satunya yaitu dengan mengungkap anak-anak melayu yang harus bekerja mendulang tembaga, mencari bongkah kaursa, topas dan gelena yang sesungguhnya adalah milik penduduk kampung Melayu namun semuanya itu harus mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta. Selain itu Andrea pun dengan jiwa yang besar melakukan otokritik terhadap kaumnya, suku Melayu. Diwakili oleh tokoh pengusaha kaya di kampungnya Capo Lam Pet Nyo, Andrea mengkritik habis perilaku suku melayu yang ditulisnya sebagai orang yang manja karena bergantung pada keberadaan PN Timah, banyak teori, sok pintar walau baru sedikit ilmunya, sombong walau hanya memiliki sedikit harta, dll. Otokritiknya ini ditutup dengan kalimat lugas yang keluar dari mulut Capo Lam Pet Nyo “Kalau timah tak laku, kalian orang Melayu mati…” (hlm164).

Masih banyak peristiwa-peristiwa yang menarik yang dialami oleh Ikal dan kedua kawannya. Kesemua peristiwa yang mereka alami tak ubahnya seperti potongan-potongan mozaik, walau awalnya seperti terserak seakan berdiri sendiri, namun jika disatukan akan akan membentuk sebuah pemandangan yang indah yang dalam konteks buku ini akan menuju suatu bentuk wujud dari impian besar mereka. Sayang, ketika potongan mozaik yang menceritakan ketika Ikal telah memasuki bangku kuliah tidak tereskplorasi dengan baik., kalimat “Tak terasa aku telah menyelesaikan kuliahku” (hlm 250) seolah memberi alasan bagi Andrea untuk beralih ke kisah selanjutnya, atau mungkin mozaik ini akan muncul di buku berikutnya ? Semoga saja demikian. Buku ini diakhiri dengan kisah Ikal dan Arai kembali ke kampungnya sambil menanti keputusan dari kampus mereka apakah mereka diijinkan untuk melanjutkan riset ke luar negeri atau tidak. Berhasilkah Ikal, Arai dan Jimbron mewujudkan mimpi mereka untuk menjejakkan kaki mereka hingga ke Sorbrone – Perancis ? Jawabannya akan pembaca temui dalam bab-bab terakhir di buku ini.

Walau memiliki banyak hal yang menarik dalam buku ini, ada sedikit kejanggalan yang mungkin akan dirasakan oleh pembaca. Pada cover depan buku ini tertulis bahwa Sang Pemimpi adalah “Buku Kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi” bukan tak mungkin pembaca Laskar Pelangi akan menyangka bahwa buku kedua Andrea ini masih menceritakan kehidupan tokoh Ikal bersama pasukan Laskar Pelanginya, sayangnya anggota Laskar Pelangi yang begitu kompak dan menemani masa-masa indah ikal sewaktu SD hingga SMP tak terceritakan lagi dalam Sang Pemimpi, dari 18 bab, hanya sekali Laskar Pelangi disinggung, itupun hanya sekilas saja, apakah memang dari kesepuluh anggota laskar pelangi tak ada satupun yang melanjutkan ke SMA Bukan Main di Magai ? Selain itu tokoh Arai yang dalam Sang Pemimpi diceritakan telah tinggal bersama Ikal sama sekali tak dimunculkan dalam Laskar Pelangi, padahal dalam novel ini dikisahkan bahwa Ikal dan Arai telah tinggal serumah layaknya kakak dan adik semenjak mereka kelas tiga SD.

Secara keseluruhan buku ini tak kalah menarik dengan Laskar Pelangi, Andrea nampaknya masih ‘bermain’ dalam pola yang sama dengan buku pertamanya, beragam kisah yang pernah dialaminya ditulis dalam masin-masing bab dan dikumpulkan menjadi satu buku, mirip kumpulan cerpen namun memiliki benang merah yang kuat. Sang Pemimpi adalah sekuel dari Laskar Pelangi dan merupakan buku kedua dari apa yang disebutnya sebagai Tetralogi Laskar Pelangi. Seperti diungkap oleh penulisnya dalam lembar ucapan terimakasihnya, kini buku ketiga dan keempat sedang ditulisnya, dan Budaya orang Melayu dan Tionghoa pedalaman di Belitong lah yang akan menjadi platform untuk mendefiniskan tetralogi Laskar Pelangi

Dari segi penuturan, antara buku pertama dan kedua tak terlihat berbeda, Andrea tampaknya masih konsisten menyuguhkan kisah-kisah kehidupan yang memesona yang dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyihir pembacanya sehingga pembaca dibawa berkelana menerobos sudut-sudut kehidupan anak-anak kampung Melayu yang polos, sederhana namun memiliki kekuatan terhadap cinta, persahabatan, pengorbanan, dan tekad yang keras untuk mewujudkan mimpi mereka. Tiap-tiap kisah yang dituturkan baik yang penuh dengan kelucuan, keharuan, tragedi dll diungkap dengan teknik bercerita yang memukau, tak heran jika Nicole Horner dalam endorsmentnya mengatakan bahwa Andrea adalah seorang seniman kata-kata

Kehadiran Sang Pemimpi dalam ranah perbukuan tanah air masih dalam situasi yang sama ketika Laskar Pelangi diterbitkan, buku-buku fiksi yang beredar masih banyak yang bertutur mengenai kehidupan kaum urban dengan segala permasalahannya atau cerita-cerita remaja metropolitan yang tak lepas dari problem cintanya. Belum lagi kini pasar buku diramaikan dengan hadirnya karya-karya terjemahan yang menggugat dasar-dasar keyakinan umat tertentu.

Ditengah-tengah kondisi ini kembali Andrea menyuguhkan sebuah kisah yang lain. Sang Pemimpi hadir dengan kisah-kisah sederhana. Namun dari kesederhanaan inilah pembaca akan disadarkan bahwa kemiskinan dan berbagai hambatan yang membelit cita-cita seseorang bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi. Selain itu Melalui rangkaian kisah-kisah dalam buku ini baik yang filosofis, menyentuh bahkan menggelikan akan terlihat secara jelas betapa dashyatnya tenaga mimpi dari tokoh-tokohnya sehingga membawa mereka untuk terus berjuang menaklukkan berbagai rintangan- yang mereka hadapi untuk mewujudkan mimpi mereka.

“Kita akan sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apapun yang terjadi!”


@h_tanzil

Monday 7 August 2006

Embroideries (Bordir)


Judul : Embroideries (Bordir)
Penulis : Marjane Satrapi
Genre : Novel grafis
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : 136 hlm
Harga : Rp. 35.000,-

Ketika para wanita bertemu dalam satu kesempatan dan saling bertukar cerita satu dengan lainnya biasanya selalu menjadi obrolan yang menarik dan tak berkesudahan, berbagai topik bisa dibicarakan mulai dari cerita diri sendiri hingga kisah orang lain yang biasanya disertai bumbu-bumbu cerita yang membuat obrolan semakin seru. Tak heran obrolan ini bisa meluas ke berbagai topik dan membuat mereka betah dudukberjam-jam sambil bercerita hingga lupa waktu.

Apakah obrolan yang sering disebut gosip ini bisa dikatakan obrolan yang tak bermutu? Apa jadinya jika obrolan para wanita ini direkam kedalam suatu novel grafis? Apakah ini suatu karya yang sia-sia dan tak bermanfaat ?

Marjane Satrapi, penulis asal Iran yang dikenal dengan novel grafisnya Persepolis (2003) dan Persepolis 2 (2004), kembali menelurkan karyanya yang diberinya judul Embroideries(Bordir) -2005. Berbeda dengan Persepolis yang mengisahkan kehidupan masa kecil dan remajanya di tengah berlangsungnya Revolusi di Iran, dalam Bordir Satrapi menyodorkan kisah yang lebih dewasa dengan memotret kehidupan keseharian wanita Iran lewat obrolan gosip para tokoh-tokoh wanitanya.

Seluruh cerita dalam novel grafis ini berada dalam bingkai pembicaraan para wanita (Satrapi, nenek, ibu Satrapi beserta koleh-koleganya), sebuah kebiasaan umum di Iran dimana selepas santap siang,ketika para lelaki tertidur pulas, para wanita berkumpul sambil minum teh dan menyibukkan diri dengan kegiatan favorit mereka : berdiskusi guna melepas unek-unek mereka. Sambil menikmati hangatnya teh masing-masing wanita menceritakan kisah-kisahnya baik mengenai dirinya sendiri maupun kisah kerabat-kerabat mereka. Cerita demi cerita terus mengalir, sambung menyambung dari satu topik ke topik lain, mulai dari kisah menyiasati malam pertama, kawin paksa, keperawanan, operasi plastik hingga pengalaman tertipu oleh pria jahat yang dinikahinya. Semua dibicarakan secara blak-blakan dengan sisipan black comedy yang terasa tajam. Karenanya Bordir bisa dikatakan sebagai novel grafis yang diperuntukkan bagi pembaca yang benar-benar dewasa. Mungkin hal inilah yang menyebabkan penerbit Gramedia menempelkan sticker “Dewasa” dalam wraping buku ini.

Secara keseluruhan Satrapi menyuguhkan rangkaian cerita yang menarik, penuh kejutan yang menyibak sekelumit kehidupan pribadi sejumlah wanita Iran. Kisah-kisah hidup para wanita yang tersaji dalam buku ini dituangkan dalam percakapan-percakapan yang hidup sehingga membuat pembacanya terasa berada di tengah-tengah para wanita ini, ikut berbagi cerita, dan mendengarkan beragam topik yang mungkin salah satunya pernah dialami oleh wanita diberbagai belahan bumi.

Dari hal-hal yang terungkap diatas, sekilas akan nampak bahwa buku ini adalah hanya sekedar buku yang mengibur pembacanya, namun jika kita mau mendalami seluruh kisahnya, bukan hanya unsur hiburan yang kita peroleh. Di tangan Satrapi obrolan para wanita bukan hanya sekedar obrolan gosip yang tak bermanfaat karena dibalik kisah-kisah yang diutarakan oleh para wanita dalam buku ini, pembaca akan diberi gambaran bagaimana sesungguhnya kehidupan kaum wanita di Iran yang sebenarnya ingin bisa bebas dari kukungan tradisi yang mengikat mereka. Melalui buku ini pula pembaca akan mengetahui bahwa pengaruh budaya barat seperti MTV, hidup bersama tanpa pernikahan, pandangan keperawanan, dll telah merasuk kedalam kehidupan masyarakat Iran yang dikenal dengan tradisi ketimurannya yang ketat.

Seperti dalam Persepolis, Bordir menyodorkan gambar-gambar dibuat dengan garis-garis yang sederhana dalam balutan warna hitam-putih yang sangat kuat. Nampak sederhana, namun dari yang kesederahana inilah yang membuat novel grafis ini menjadi ‘lain’ dibanding novel-novel grafis lainnya, sekaligus menjadi ciri khas novel grafis Satrapi.

Kehadiran terjemahan Embordries (Bordir) oleh Gramedia patut dihargai, terjemahannya enak dibaca dan mengalir. Dari segi pengemasan buku ini tampaknya digarap dengan serius, selain cover dan ukuran buku layaknya kemasan buku-buku fiksi, novel grafis ini dicetak diatas kertas yang mewah sehingga goresan-goresan tinta Satrapi yang kuat tercetak dengan baik.

Hadirnya Bordir di ranah perbukuan kita tentu saja disambut hangat oleh para pecinta novel grafis, namun yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah mengapa Bordir yang diterbitkan lebih dahulu, padahal jauh sebelum novel ini beredar, sebuah isu santer beredar di kalangan pecinta novel grafis bahwa Gramedia akan menerbitkan Persepolis. Mengapa demikian ? Sangat mungkin penerbit memiliki alasan-alasan yang masuk akal mengapa Bordir dulu yang diterbitkan, apakah sebagai pemanasan sebelum terbitnya Persepolis ? Namun setidaknya kehadiran Bordir bisa dijadikan pemuas dahaga para pecinta novel grafis yang tentunya menginginkan lebih banyak lagi novel-novel grafis kelas dunia yang diterjemahkan di Indonesia.


Akankah Persepolis diterbitkan di Indonesia?

@h_tanzil
 
ans!!