Monday 31 July 2006

Snow Flower


Judul : Snow Flower
Penulis : Lisa See
Penerjemah : A. Rahartati Bambang Haryo
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : x + 556 hlm
Harga : Rp. 66.000,-

Seorang wanita tua jatuh pingsan di sebuah stasiun daerah pedesaan Cina. Polisi menggeledah barang-barang miliknya untuk menemukan selembar kertas berisi kode rahasia. Wanita itu ditahan dan dicurigai sebagai mata-mata musuh. Tetapi, para cendekiawan yang mengurai tulisan itu mendapati bahwa kode tersebut adalah nu shu—tulisan rahasia kaum wanita yang tidak boleh disentuh dan dilihat oleh kaum lelaki. Tulisan ini digunakan oleh para wanita di derah terpencil di selatan Provinsi Hunan, dan diyakini berkembang seribu tahun yang lalu.

Saat menulis tentang nu shu bagi The Los Angeles Times, penulis Amerika berdarah Cina, Lisa See, yang dikenal di Indonesia lewat novel Liu Hulan: Jaring-jaring Bunga (Qanita,2006) tertarik untuk melakukan riset yang lebih mendalam. Tak puas dengan sejumlah buku dan dokumen yang dibacanya, Lisa See bahkan melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Cina untuk menyibak rahasia keberadaan nu shu dan budaya yang melatarbelakanginya.

Pencarian itu menjadi sumber kreatifitasnya dalam menulis novel keempatnya, Snow Flower and The Secret Fan (2005) yang kini diterjemahkan dengan baik oleh penerbit Qanita dengan judul Snow Flower.

Kisah ini ditulis dengan gaya memoar seorang wanita berusia 80 tahun yang bernama Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga Salju sebagai laotong, alias "kembaran sehati"nya. Lily memulai kisahnya pada 1828, ketika dia berusia 5 tahun dan tinggal di desa Puwei, di Baratdaya Cina. Kebebasan masa kecilnya tiba-tiba terampas ketika dia harus menjalani pengikatan kaki, sebuah tradisi menyakitkan yang harus dilalui oleh para wanita Cina agar memperoleh status yang terhormat.

Kaki Lily kecil mungil diikat sedemikian rupa, sehingga pertumbuhannya terhambat dan tulang-tulang telapak serta jari kaki remuk dan akhirnya membentuk profil bunga lili emas. Kaki yang berbentuk Bunga Lili Emas adalah simbol kehormatan wanita Cina, karena wanita yang kakinya tidak diikat atau berkaki lebar adalah wantia ‘rendahan’ yang hanya pantas dijadikan pelayan atau ‘menantu kecil’ yang tak berharga.

Tersebutlah seorang mak comblang bernama Madam Wang, yang berkunjung dan menawarkan suatu perjodohan bagi Lily. Bukan perjodohan untuk memperoleh seorang suami, melainkan perjodohan ‘laotong’ atau ‘kembaran sehati’, perjodohan yang dilakukan antar sesama jenis untuk memperoleh sahabat sejati yang tidak akan terpisahkan bahkan oleh perkawinan sekali pun. Lily mendapatkan Bunga Salju sebagai kembaran sehatinya.

Komunikasi pertama yang dilakukan oleh Lily dan Bunga Salju sebagai sepasang laotong adalah melalui sebuah kipas yang berisi tulisan nu shu. Kipas inilah yang kelak menjadi semacam jurnal kehidupan mereka.

Dari berbagai kesamaaan yang dimiliki sepasang laotong ini, perbedaan mereka terletak pada status sosial. Lily berasal dari keluarga petani sederhana, sementara Bunga Salju berasal dari keluarga terpendang dan terpelajar. Tetapi, perbedaan ini justru membuat mereka saling melengkapi. Dari Bunga Salju, Lily belajar tentang kaligrafi, menulis nu shu, berperilaku sebagai orang terhormat, dll. Sedangkan dari Lily, Bunga Salju belajar banyak hal mengenai kegiatan rumah tangga seperti mengepel, membuat teh, memetik sayuran, menyediakan hidangan bagi keluarga, dll. Mereka pun selalu berkomunikasi melalui sebuah kipas sutera bertuliskan nu shu. Anehnya, walau Bunga Salju kerap berkunjung ke rumah Lily, tak sekali pun Lily diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah Bunga Salju.

Ketika Bunga Salju dan Lily telah berusia 11 tahun dan kaki mereka telah membentuk bunga lili yang indah, mereka pun masing-masing dijodohkan. Lily dijodohkan dengan anak kepala desa Tongkou yang memiliki reputasi sebagai keluarga terpelajar sekaligus dihormati oleh masyarakatnya, sedangkan Bunga Salju dijodohkan dengan anak seorang tukang jagal. Sungguh aneh dan ironis!

Empat tahun kemudian Lily menikah. Hari keempat setelah pernikahan, pengantin wanita diperbolehkan mengunjungi desa kelahirannya. Namun, alih-alih kembali menemui orang tuanya, Lily mengunjungi Bunga Salju. Ini adalah kunjungan pertamanya setelah bertahun-tahun mereka menjadi sepasang laotong. Melalui kunjungan inilah akhirnya terungkap siapa sebenarnya Bunga Salju, dan mengapa selama ini Lily tidak diberi kesempatan untuk mengunjungi rumahnya.

Tetapi, bukan kebenaran jati diri Bunga Salju yang mengubah janji setia mereka sebagai sepasang laotong. Persahabata mereka tak tergoyahkan, hingga akhirnya tibalah sebuah nu shu dari Bunga Salju. Isi pesan tersebut membuat hati Lily terluka dan persahabatan mereka sebagai sepasang kembaran sehati seketika hancur. Kekecewaan dan perasaan dikhianati oleh laotongnya membuat Lily menutup hatinya terhadap Bunga Salju.
Bertahun lamanya mereka tak lagi saling bertemu atau bertukar kabar hingga akhirnya sebuah tragedi mengungkap kebenaran yang selama ini tertutup oleh perasaan benci.

Novel keempat Lisa See ini menyuguhkan cerita yang dramatis dan berpotensi membuat emosi pembacanya tersentuh karena novel ini banyak mengungkap kepedihan dari kehidupan para tokohnya, namun bukan berarti novel ini menjadi novel yang cengeng karena melalui para tokohnya pula akan tercermin ketegaran mereka dalam menghadapi penderitan baik dari kukungan tradisi maupun dari berbagai peristiwa pahit yang harus mereka lalui.

Selain menyajikan cerita yang menyentuh dan plot yang enak diikuti, Snow Flower juga sarat dengan budaya Cina pada abad ke-19, khususnya mengenai kehidupan kaum wanitanya, yang ditampilkan melalui penggambaran tradisi pengikatan kaki, nu shu, upacara perjodohan hingga pernikahan, serta kehidupan keseharian para wanita Cina dalam menjalani siklus hidupnya mulai kecil hingga masa tuanya. Pembagian novel ini pun terbagi dalam siklus kehidupan wanita Cina, seperti Hari-hari Anak Gadis, Hari-hari Jepit Rambut, Hari-hari Beras dan Garam, dan Hari-hari Duduk dalam Keheningan.

Salah satu hal yang paling menarik dalam novel ini adalah penggambaran mendetail tradisi pengikatan kaki. "Hanya melalui rasa sakit kaudapatkan kecantikan. Hanya melalui penderitiaan kaudapatkan kedamaian", demikian makna filosofis dari tradisi ini. Mungilnya kaki seorang wanita, kelak akan ditunjukkan sebagai bukti kepada calon mertua dan ipar tentang kekuatan dalam pengendalian diri, serta kemampuan untuk menahan penderitaan dalam persalinan.

Sikap dan pandangan hidup masyarakat Cina abad ke-19 terhadap kaum wanita pun tergambar dengan jelas dalam novel ini. Wanita Cina hidup dalam kukungan tradisi. Setelah menjalani pengikatan kaki, hidup mereka dihabiskan di ruang atas dan dapur yang terpisah dari kaum lelaki. Di sana, mereka harus belajar berbagai ketrampilan seperti membordir, membuat sepatu, juga menyiapkan mahar perkawinan mereka. Setelah menikah, mereka harus hidup melayani suami, mertua hingga ipar-iparnya. Tugas terberat mereka adalah melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga suami. Jika tidak berhasil, mereka akan disisihkan dan dapat digantikan posisinya sewaktu-waktu. Hal tersebut terjadi karena dalam budaya Cina saat itu, melahirkan anak laki-laki adalah fondasi bagi harga diri wanita sekaligus mahkota kemuliaan bagi seorang wanita.

Masih banyak tradisi-tradisi dan kultur masyarakat Cina abad 19 yang akan terungkap dalam novel ini. Walau sarat dengan paparan budaya Cina yang eksotis, novel ini tidaklah membosankan. Secara piawai, Lisa See meramu unsur-unsur tersebut menjadi sebuah cerita dan paparan budaya terjalin dengan cantik. Hasilnya adalah sebuah novel yang indah dan menyentuh. Beberapa pujian atas novel ini menyatakan bahwa novel inilah karya terbaik dari Lisa See. Tak heran jika novel ini bertengger dalam jajaran daftar New York Time Bestseller sepanjang tahun 2005 hingga kini.

Lisa See, penulis Amerika keturunan Cina yang relatif masih muda ini rupanya berhasil mencari dan mengangkat "akar" budaya leluhurnya. Riset dan perjalanannya hingga ke daerah-daerah terpencil di Cina tidaklah sia-sia. Sebuah novel yang tampaknya akan terus dikenang dan menjadi sebuah karya klasik ini adalah buah dari usahanya mencari dan mengangkat budaya leluhurnya yang mungkin sudah terlupakan, tergerus oleh putaran waktu dan hanya dapat ditemui dalam literatur-literatur budaya yang mungkin tak terbaca oleh generasi masa kini. Kini, Lisa See meyuguhkannya dalam balutan fiksi yang menawan hingga dapat terbaca oleh masyarakat luas, bukan sekadar untuk menampilkan eksotisme budaya Cina masa lampau melainkan supaya pembacanya memahami dan mengambil nilai-nilai kehidupan dari budaya masa lampau dari suatu bangsa yang dikenal telah memiliki sejarah yang sangat panjang.

@h_tanzil

Monday 24 July 2006

Sang Singa, Sang Penyihir dan Lemari



Judul : The Lion, The Witch and The Wardrobe
( Sang Singa, Sang Penyihir dan Lemari)
Penulis : C.S. Lewis
Diceritakan kembali oleh : Hiawyn Oram
Ilustrasi : Tudor Humphries
Penerjemah : Indah S. Pratidina
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2006
Jenis : Cerita Bergambar Anak
Tebal : 44 hlmn, (25x26cm) – art paper
Harga : Rp. 35.000,-

Kisah petualangan empat anak Inggris, Peter, Susan, Edmund, dan Lucy di negeri Narnia sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia. Seri Narnia yang merupakan kisah fantasi anak klasik karya C.S. Lewis ini mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1992 dimana untuk pertama kalinya Narnia diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dian Rakyat

Setelah seri Narnia versi Dian Rakyat habis di pasaran dan tidak dicetak ulang kembali, kisah negeri ajaib Narnia terlupakan dengan semakin maraknya cerita-cerita fantasi anak yang lebih modern. Tiga belas tahun kemudian kisah Narnia kembali terdengar dengan terbitnya "Let’s Go Into Narnia –(Mengenal lebih dekat dunia ajaib CS. Lewis) – Arie Saptaji, Gradiens Books, Juli 2005). Buku yang ditulis untuk bekal bagi calon pembaca kisah Narnia ini rupanya hendak mencuri start eforia pembaca kisah fiksi remaja menjelang diterbitkannya kembali seri Narnia oleh Gramedia Pustaka Utama dan diputarnya film The Witch, The Lion and The Wardrobe, di bioskop-bioskop tanah air pada bulan Desember 2005.

Pada bulan Juli 2005 Gramedia secara beruntun menerbitkan seri Narnia dengan cover yang menarik dengan ilustrasi asli yang dibuat oleh Pauline Baynes. Kemudian Gramedia juga menerbitkan Narnia Box Set yang dicetak secara terbatas khusus untuk para kolektor Narnia. Setelah menerbitkan ketujuh seri Narnia secara lengkap, di bulan Mei 2006 Gramedia menerbitkan semacam buku panduan mengenai dunia Narnia "The Magical World of Narnia" karya David Colbert yang juga menulis buku paduan kisah fantasi populer seperti "The Magical World of Harry Potter dan The Magical World of Lord of The Ring" yang semuanya telah diterbitkan oleh Gramedia.

Setelah menerbitkan seri Narnia beserta buku-buku pendampingnya, kini Gramedia menerbitkan Buku Bergambar Narnia "The Lion, The Witch, and The Wardrobe" yang diperuntukkan bagi anak-anak. Buku Bergambar Narnia ini masih setia pada cerita asliya, hanya saja karena diperuntukkan bagi anak-anak dan dikemas dalam betuk cerita bergambar degan jumlah halaman yang terbatas (44 halaman), tentu saja buku ini telah megalami proses adaptasi berupa penyederhaaan cerita agar dapat dimengerti oleh pembaca anak-anak.

Kisah dalam buku ini dimulai ketika empat anak---Peter, Susan, Edmund, dan Lucy---menemukan lemari tua misterius. Ketika masuk ke sana, mereka menemukan bahwa di balik semua mantel bulu yang tergantung terdapat dunia indah – dunia Narnia - dengan pepohonan dan pegunungan, di mana segalanya tertutup salju.Ternyata musim dingin di Narnia tak perah berakhir karena Penyihir Putih telah menyebarkan musim dingin membeku ke seluruh tempat. Hanya Aslan yang bisa mengalahkannya dan mematahkan sihir jahatnya. Keempat anak itu harus menemui sang singa sebelum terlambat. Kalau mereka gagal, sang penyihir akan menjadikan mereka tawanan selamanya.

Karena buku ini diperuntukkan bagi anak-anak, maka kalimat-kalimatnya dibuat sesederhana mungkin sehinga memudahkan anak-anak yang bisa membaca untuk memahami ceritanya. Dari segi pengemasan buku ini dikemas secara menarik, ukuran buku yang besar (25x26 xm) membuat ilustrasi dalam buku dapat dinikmati dengan baik, ilustrasinya sangat menarik, komposisi warnanya teduh dan tidak mencolok mata, goresan grafisnya tersaji secara realistik dan detail-detailnya tampak halus sehingga ekspresi wajah para tokohnya bisa dikatakan mewakili apa yang sedang dialami oleh para tokoh-tokohnya. Hal ini membuat anak-anak yang belum bisa membacapun tetap bisa menikmati buku ini, terlebih bagi mereka yang pernah menonto filmnya.

Bagi pembaca yang telah menonton filmnya tentu akan menemui kemiripan-kemiripan dari apa yang tervisualisasi di layar lebar dengan ilustrasi yang terdapat dalam buku ini, padahal buku ini diadaptasi menjadi certa bergambar pada tahun 2004, setahun sebelum filmnya dirilis. Namun di akhir cerita ada sedikit ilustrasi ya berbeda dengan filmnya, pada saat keempat anak hendak meninggalkan dunia Narnia, dalam ilsutrasi buku ini tampak Mr Tumnus melambaikan tangannya pada mereka, sedangkan dalam film tak terlihat adegan tersebut. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya di benak anak-anak yang secara kritis membandingkan ilustrasi dalam buku ini dengan apa yang mereka lihat di filmnya. Namun karena buku ini merupakan karya adaptasi, maka perbedaan tersebut bukanlah masalah selama masih dianggap wajar dan tidak merubah inti cerita aslinya, yang penting melalui buku ini, anak-anak akan mendapat kesempatan untuk memasuki dunia Narnia lewat sebuah buku yang memang diperuntukkan bagi mereka.

Karena kisah Narnia sebenarnya ditulis untuk kalangan remaja, maka dengan diterbitkannya kisah Narnia yang dirancang khusus untuk anak-anak, maka para orang tua akan sangat terbantu dalam mengenalkan kisah Narnia yang sarat dengan pesan moral kepada anak-anaknya yang masih kecil. Bukan itu saja, kemasan dan ilustrasinya yang menarik pada buku ini tampaknya bukan hanya akan diminati oleh anak-anak saja, namun juga akan menggerakkan hati para penggemar Narnia dewasa untuk segera mengoleksinya.

@h_tanzil

Monday 17 July 2006

Selasar Kenangan


Judul : Selasar Kenangan
(Kumpulan cerpen)
Editor : Eko Sugiarto
Penyelia : Akmal Nasery Basral
Penerbit : AKOER & Apresiasi-Sastra
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : xx + 94 hlm
Harga : Rp. 24.500,-


Masa kecil adalah salah satu rentang waktu dalam kehidupan seseorang yang penuh dengan kenangan. Ada yang manis ada pula yang pahit. Beberapa peristiwa yang terjadi di masa kecil terkadang begitu membekas terpatri dalam hati dan tak bosan-bosannya untuk dikenang dan diceritakan. Bukan sekedar mengenang romantisme masa kanak-kanak, tak jarang peristiwa di masa kecil dijadikan pegangan dan bekal kehidupan dalam menjalani kehidupan di masa kini.

Dalam buku kumpulan cerpen Selasar Kenangan, sembilan penulis wanita dari berbagai profesi mulai dari penulis novel, wartawan, hingga buruh migran yang tergabung dalam milis Apresiasi-Sastra mencoba menorehkan masa kecil mereka kedalam cerpen yang menarik untuk disimak. Apa yang selama ini menjadi kenangan pribadi dan disimpan dalam masing-masing benak penulisnya kini diceritakan untuk dibaca oleh siapa saja. Ada kenangan yang pahit, lucu, menyentuh, semua terangkum dalam sembilan cerita yang berbeda dan dengan gaya bertutur yang berbeda.

Torehan kenangan dari sembilan penulis wanita dalam buku ini diawali dengan cerpen karya Anjar, novelis produktif yang telah menerbitkan 3 bh novel (Beraja, Kidung, dan Tiga). Sama seperti novel-novelnya yang selalu memasukkan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang jarang digunakan oleh penulis lainnya, begitupun dalam cerpennya “Putaran Batu”. Dalam cerpen ini akan ditemui kata-kata seperti ngelangut (rindu), berselirat (ruwet), sapandurat (tiba-tiba, sekejap mata), dll. Cerpen ini mengisahkan ketika tokoh “Aku” sedang mengalami masalah dalam pekerjaannya. Dalam keadaan gundah ia diminta oleh kakaknya untuk mengasuh keponakannya yang masih belajar berjalan. Ternyata apa yang dialami oleh keponakannya sama dengan apa yang dialaminya semasa ia kecil, hal ini membuat alam bawah sadarnya mengantarnya pada sebentuk kenangan masa kecil yang membuat dirinya memiliki alternatif dalam menyelesaikan masalah dalam pekerjaannya.

Pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang tak mengenakkan seperti diejek oleh teman-teman sekolah juga terungkap dalam buku ini, dalam cerpen “Jemputan Sepeda Mama” (Anindita) dikisahkan seorang anak SD yang harus menanggung malu diejek oleh teman-temannya karena setiap hari dijemput oleh mamanya dengan mengendarai sepeda. Pada cerpen “Dilarang Membenci Becak” (Lik Kismawati) dikisahkan seorang anak yang lahir dalam sebuah becak harus menganggung malu dengan olok-olokan teman-temannya yang menyebut dirinya sebagai “anake becak”, hal ini membuat dirinya membenci becak, kebenciannya pada becak tak hilang walau ia ditolong kembali oleh sebuah becak ketika ia terjatuh dari sepeda.

Pengalaman pahit dalam menyusuri kenangan masa kecil juga tersaji dalam cerpen “Perempuan dalam Reruntuhan Musim” (Widzar Al-Ghifary), cerpen ini mengisahkan tokoh Wida yang melakukan perjalanan menapak masa lalu ke tempat ia melewati masa kecilnya yang pahit dan memberinya taruma pada kehidupannya kini. Awalnya Wida tak mau jika ada yang mengajaknya kembali ke desa tempat ia dibesarkan, ia memilih pergi ke tempat-tempat lain ketimbang harus menemui masa lalunya yang pedih, hingga akhirnya sebuah surat dari kawan lama almarhum kakeknya membuatnya harus kembali ke desanya.

Selain cerita masa lalu yang kurang menyenangkan buku ini juga menyajikan beberapa pengalaman-pengalaman polos anak-anak yang mengundang senyum pembacanya. Pada cerpen “Sedikit Kenangan Tersisa” (Ita Siregar) diceritakan berbagai pengalaman masa kecil tokohnya seperti ketika ia tercebur dalam tong berisi minyak tanah, kekhawatiran ketika gigi serinya tanggal karena takut tak tumbuh lagi selamanya dll. Pengalaman pertama anak-anak dalam hal-hal baru juga tampak dalam cerpen “Hantu di Kamar Baru” (Rita Achdris) dimana diceritakan pengalaman seorang anak ketika ia harus tidur sendirian untuk pertama kalinya. Dalam cerpen “Papa Menepuk Nyamuk, Sayang” (Feby Indirani) menuturkan pengalaman lucu sang anak ketika terbangun di tengah malam dan melihat kedua orang tuanya sedang ‘bergumul’, esoknya mamanya memberitahu bahwa kejadian semalam adalah “Papa yang sedang menepuk nyamuk di badan mama”.

Kisah yang menyajikan kejutan di akhir cerita muncul di cerpen “Segi Empat bukan Segitiga” (Mindo Hutagaol) dimana tokohnya seorang anak yang memiliki dua orang ibu. Suatu saat kakaknya yang berkerja di Singapura tiba-tiba datang dan berniat membawa si anak untuk ikut dengannya. Maka terjadi tarik menarik antara si kakak dan ayahnya yang tak rela anaknya dibawa pergi, dalam tarik menarik itulah terjadi sesuatu yang mengejutkan yang kan membuka jati diri si kakak. Begitupun dengan cerpen “Sesuatu Bernama Kenangan” (Riris Juliyanti), cerpen yang berlatar tragedi Mei 98 ini menceritakan persahabatan antara seorang keluarga Pribumi dengan keluarga Tionghoa, tetangga depan rumahnya, ketika tragedi Mei terjadi, keluarga Tionghoa ini tak luput dari amukan massa, salah seorang anaknya mengalami perkosaan. Cerpen ini menyajikan ending yang mengejutkan sekaligus menyentuh di akhir ceritanya.

Jika membaca keseluruhan cerpen yang ada dalam buku ini pembaca diajak untuk menyelusuri selasar kenangan masa kecil para tokoh dalam tiap cerpen, ketika membaca buku ini kita seolah didongengi cerita-certia masa kecil penulisnya, secara umum cerita-ceritanya sederhana dan menyajikan kepolosan dunia anak-anak, namun ada juga certia-certia yang kelam dan menyentuh pembacanya (Perempuan dalam Reruntuhan Musim, Sesuatu yang Bernama Kenangan), yang pasti, pembaca yang baik pasti akan mendapatkan nilai-nilai moral dari seluruh kisah yang tesaji dalam buku ini yang tentunya bermanfaat untuk diselami.

Keseluruhan cerpen yang ada dalam buku ini dikumpulkan dari milis Apresiasi-Sastra@yahoogroups.com , sebuah milis sastra yang kerap mengadakan semacam lomba kepenulisan dalam berbagai bentuk (pantun,puisi,prosa,dll). Dalam kata pengantar buku ini yang ditulis oleh Djodi Budi Sambodo selaku pendiri (owner) milis Apresiasi-Sastra, terungkap bahwa milis yang sarat dengan program-program apresiasi ini pernah menggelar sebuah programnya Apresiasi Prosa srikandi (khusus wanita) dengan tema “Masa Kecil”. Program ini diikuti oleh 21 peserta, dari 21 naskah yang masuk, naskah-naskah ini dinilai oleh 13 relawan juri yang semuanya pria. Semua cerpen dinilai dan ditabulasikan hingga menghasilkan 10 cerpen dengan nilai terbaik dan akhirnya dibukukan dalam “Selasar Kenangan”

Selain berisi kumpulan cerpen, buku ini juga menyuguhkan sebuah ensamble puisi / puisi berantai sebanyak 117 baris yang ditulis oleh puluhan anggota milis Apresiasi-Sastra dimana setiap anggota milis boleh mengirimkan sebaris atau lebih puisinya untuk menyambung baris-baris diatasnya. Puisi berantai dengan judul ”Waktu Bukan Milikmu” ini setidaknya merupakan bukti perwujudan semangat kebersamaan dalam bersastra yang tampaknya menonjol dalam milis Apresiasi-Sastra ini.

Yang sangat disayangkan, buku yang dikemas secara menarik ini memiliki kekurangan yang cukup menonjol, dalam kata pengantarnya tertulis bahwa ada 10 cerpen terbaik yang dimuat dalam buku ini, namun dalam kenyataannya hanya ada 9 bh cerpen saja, dimana keberadaan satu cerpen lagi…?, selain itu, buku ini juga tidak memuat biodata penulis, padahal dalam sebuah buku, biodata penulis merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan selalu ada guna mengenalkan penulisnya pada pembacanya, apalagi untuk sebuah antologi cerpen yang ditulis oleh berbagai penulis.

Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Buku ini setidaknya turut andil dalam mempopulerkan berbagai karya sastra internet yang semula hanya terbaca di layar komputer oleh para peselancar cyber menjadi sebuah karya sastra yang juga bisa dibaca oleh masyarakat luas dan dapat dibaca kapan saja sambil berselonjor nyaman di sebuah sofa empuk sambil menyusuri Selasar Kenangan dan belajar dari kehidupan masa kecil para tokoh-tokoh dalam cerpen ini.

@h_tanzil

Monday 10 July 2006

Jalang!


Judul : Jalang!
Penulis : Maroeli Simbolon
Editor : Anwar Holid
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : xx + 209 hlm
Harga : Rp. 29.000,-

Siapa yang tidak mengenal legenda Ken Arok dengan Keris berdarahnya? Sebuah Keris yang menghantar Ken Arok menjadi Raja Singasari. Keris Mpu Gandring yang dikutuk oleh pembuatnya itu dikenal dengan keris yang haus darah, tujuh nyawa meregang sia-sia tertikam oleh keris terkutuk itu. Keris, tombak, pisau, hingga yang lebih modern –pistol- yang tadinya sekedar alat untuk membela diri tak jarang menjadi alat pembunuh bagi pemiliknya, tak perlu kutukan Mpu Gandring untuk membuat sebuah senjata menjadi haus darah, aura kekerasan yang memancar dari sebuah senjata membuat pemiliknya menjadi lebih beringas dan tak segan-segan menggunakan senjatanya untuk memperoleh apa yang diinginkannya

Novel Jalang! karya Maroeli Simbolon bukan kisah perebuatan kekuasaan seperti Ken Arok, melainkan kisah bagaimana sebuah senjata mampu memunculkan hasrat paling gelap bagi pemiliknya untuk menjadi jagoan, membalas dendam, dan melancarkan serangan yang menghantar pada kematian. Novel ini bertutur mengenai sebuah pistol yang haus akan darah. Di tangan Maroeli, benda mati, sebuah pistol dipersonifikasikan menjadi begitu hidup dan memiliki hasrat membunuh yang liar. Tokoh sentral novel ini adalah sebuah pistol yang terus berpindah-pindah kepemilikan dari satu tangan ke tangan lainnya. Awalnya pistol ini milik sebuah instansi resmi yang berhak menyimpan senjata, sensasi kekerasan pertama yang dirasakan oleh pistol ini bermula ketika seseorang berpakaian seragam membawanya ke medan perang. Pistol ini bekerja tak kenal lelah. Mataku muntah sebutir demi sebutir. Maka, satu demi satu pun terjatuh meregang nyawa dan bersimbah darah oleh kebuasanku. Aku menjilati sepuasnya (hlm 88)

Ketika sosok berseragam itu tewas tertembak peluru musuh ketika berada dalam daerah konflik, pistol tersebut berganti pemilik, ia diambil oleh oleh seseorang yang berpakaian biasa. Berganti pemilik tidak membuat dirinya semakin terkendali, malah pistol tersebut semakin liar memuntahkan peluru-pelurunya. Maka ia jadi kekasihku. Dari sinilah aku terlibat percintaan semakin liar. Dari tangannya aku pindah ke tangan lain, lalu ke tangan baru, lalu ke tangan asing, ah, entah sudah berapa. Aku juga tak pernah menghitung jumlah korbanku. Tentu saja sebelum pindah, aku sudah menjilati korban-korbanku lebih dulu (hlm 89).

Novel ini secara menarik mengisahkan penggalan perjalanan hidup si pistol yang haus darah bersama pemiliknya yang selalu berganti-ganti. Masing-masing pemilik memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Pembaca diajak berpetualang bersama si pistol dan pemiliknya. Di halaman-halaman awal pembaca disuguhkan oleh narasi kekerasan antara seorang wanita dan dua orang yang anggota sindikat (Tonny & Viddy) yang ditugasi oleh bossnya untuk menghabisi nyawa si wantia yang dianggap telah menghianati kelompoknya. Lalu ada juga kisah yang bisa dikatakan mendominasi dan mengikat novel ini yaitu kisah perselingkuhan dengan nafsu yang liar antara Frans dan Helen, sekertarisnya. Padahal Frans telah memiliki Clara, istri yang cantik dan melayaninya dengan baik. Diam-diam Andre, tetangga depan rumah mereka menaruh kekaguman pada Clara dan selalu merekam kegiatan Clara lewat sebuah kamera video dari rumahnya. Lalu ada juga tokoh John, pegawai pabrik yang di-PHK oleh majikannya dan dengan pistol ditangannya berhasil membunuh mantan majikannya. Terseok-seok oleh kemiskinan akibat menganggur dan menghindar dari kejaran polisi, John menjadi pelaku kriminal yang merampok seorang wanita di tempat parkir sebuah plaza.

Yang paling menarik dari novel ini tentu saja personifikasi si pistol itu sendiri. Dalam novel ini Maroeli mendeskripsikan tokoh sentral dalam novel ini sebagai benda mati yang memiliki hasrat dan perasaan. Si pistol digambarkan sebagai sosok anak kegelapan dan malaikat maut yang siap menyambar nyawa siapapun. Aku adalah peri, bidadari, malaikat bermata satu, jin, iblis bertanduk seribu….Aku adalah binatang jalang! Amboi, betapa aku menyukai semua yang penuh birahi dan menyeramkan yang disematkan kepadaku (hlm 83).
Seperti keris Mpu Gandring dikutuk oleh pembuatnya dan selalu haus akan darah, demikian juga tokoh pistol dalam novel ini Ia jalang dan haus darah, setiap dirinya ditodongkan pada calon korbannya, dengan kemampuannya menghasut ia mencoba membujuk pemiliknya untuk segera menarik pelatuk pistolnya dan merasakan sensasi nikmatnya luncuran timah panas menembus tubuh korban. Hampir semua yang pernah memiliki pistol ini terhasut untuk menumpahkan kemarahan, mengumbar dendam, dan melancarkan serangan yang mematikan dari orang-rang yang dibencinya.

Hanya satu yang luput dari hasutannya, ketika pistol ini dibuang oleh John dan ditemukan oleh pemulung sampah, pistol ini tak berhasil membujuk si pemilik barunya untuk memenuhi hasrat membunuhnya. Ketika Pistol ini hendak dibuang, sebuah mobil yang dikendarai Frans menyerempet gerobak sampahnya dan si pemulung terpental bersama pistolnya. Alih-alih menolong si pemulung sampah, Frans malah mengambil pistol itu. Di tangan Frans-lah akhirnya pistol itu berhasil mempengaruhi Frans untuk melampiaskan hasrat jalangnya.

Melalui Novel ini, secara lugas dan berani Maroeli menyajikan cerita yang keras, memacu adrenalin bahkan cenderung kasar, seperti judul novel ini “Jalang!” dan cover buku yang didominasi dengan warna hitam dan lukisan pistol yang memuntahkan pelurunya, novel ini pun sama hitam dan kasarnya dengan citra yang dicoba dibangun oleh desainer cover novel ini. Penulisnya tampaknya berhasil membangun sebuah cerita yang menarik dengan memunculkan sebuah pistol sebagai tokoh sentral, sebuah ide cerita yang orisinil dan menyajikan petualangan yang imajinatif dengan setting kehidupan kaum urban yang memiliki kehidupan yang gelap dan keras dimana penghianatan, dendam seorang korban PHK, kemiskinan, kehancuran rumah tangga akibat perselingkuhan yang liar dan panas terungkap dengan gamblang dalam novel ini.

Walau novel ini sarat dengan deskripsi kekerasan, tentunya bukan berarti novel ini dimaksud untuk memunculkan hasrat gelap dari pembacanya, namun setidaknya novel ini menyadarkan pembacanya bahwa kekerasan dengan mudah akan ditemui dimana-mana dan menyusup dalam tiap sendi-sendi kehidupan masyarakat kaum urban yang tampaknya semakin tak toleran satu dengan yang lainnya.

Sebagai catatan, Jalang! Adalah novel pertama dan terakhir dari Maroeli Simbolon. Selama ini Maroeli dikenal dengan cerpen-cerpennya yang tersebar di berbagai media massa nasional, beberapa telah dibukukan oleh penerbit Jalasutra yaitu, Bara Negeri Donngen (2002), Cinta? Tai Kucing! (2003) dan Sepasang Luka Cinta (2004). Novel Jalang! diselesaikan oleh Maroeli ketika sakit kronis mulai mendera tubuhnya. Karena novel ini terbit setelah penulisnya wafat, bisa dikatakan novel ini adalah novel anumerta (posthumous), sebelumnya novel ini pernah dimuat secara bersambung di harian Sinar Harapan pada Februari-Maret 2005.

Proses kreativitas menulis Maroeli seperti diutarakan Anwar Holid dalam Avant Provos novel ini memang tak lepas dari sakit yang dideritanya. Namun Mareoli adalah penulis yang tangguh dan punya vitalitas yang hanya akan berhenti jika ia harus berhenti. Akhirnya Maroeli Simbolon memang harus berhenti sesuai dengan kehendakNYA. Setelah beberapa bulan bertahan dan berjuang melawan sakit, pada 18 Januari 2006 Maroeli Simbolon meninggal dunia di Jakarta 2 hari setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke 39.

@h_tanzil

Tuesday 4 July 2006

Perpustakaan Ajaib Bibi Bokken


Judul : Perpustakaan Ajaib Bibbi Boken
Penulis : Jostein Gaarder & Klaus Hagerup
Penerjemah : Ridwana Saleh
Penyunting : Andityas Prabantoro
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : 294 hlm
Harga : Rp, 32.500,-


Sedikit orang yang mengetahui bahwa penulis novel Best Seller Dunia Sophie (1995) Jostein Gaarder pernah berkoloborasi dengan Klaus Hagerup dalam menulis fiksi remaja.
Klaus Hagerup sendiri adalah salah satu penulis terkemuka Norwegia yang karya-karyanya banyak berjenis bacaan anak dan remaja. Mungkin salah satu kesamaan dalam hal menulis fiksi yang diperuntukkan bagi remaja inilah yang mendorong Gaarder dan Hagerup berkoloborasi dan melahirkan karya bersamanya yang berjudul Bibbi Bokkens Magische Bibliothek (1993). Buku yang belum pernah diterbitkan oleh negara-negara berbahasa bahasa Inggris ini kini diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman oleh Mizan menjadi Perpustakaan Ajaib Bibbi Boken (2006).

Novel Gaareder & Hagerup ini menceritakan dua saudara sepupu pecinta buku, Berit dan Nils yang tinggal di kota yang berbeda. Oslo dan Fjaerland - Norwegia. Untuk berhubungan, kedua remaja ini saling berkirim surat. Uniknya surat mereka bukan ditulis dalam selembar kertas melainkan ditulis dalam sebuah buku yang saling dikirim diantara mereka.

Anehnya buku surat tersebut menarik perhatian Bibbi Boken seorang wanita misterius yang menginginkan buku-surat tersebut..Alih-alih lari dari incaran Bibbi Bokken, Berit dan Nils layaknya detektif secara diam-diam membuntuti dan menyelidiki hingga ke kediaman Bibi Bokken. Dari sepucuk surat yang terjatuh dari tas Bibbi Bokken terungkap bahwa ia adalah seorang bibliografer, surat tersebut menyinggung soal buku yang sangat spesial yang akan terbit tahun depan yang belum ditulis bahkan belum diketahui siapa penulisnya, buku tersebut berjudul “perpustakaan ajaib”. Dari penyelidikan Berit dan Nils terungkap bahwa Bibbi Boken sering menerima paket buku, mereka menyangka pastilah dalam rumah Bibbi terdapat banyak buku, mereka mencurigai Bibbi sebagai penyeludup buku. Namun siapa sangka ketika Berit berhasil menyusup kedalam rumah Bibbi, anehnya tak tampak satu bukukupun dalam rumah itu !

Penyelidikan terus berlanjut, semakin hari mereka semakin menemukan keterkaitan antara Bibbi Boken dan beberapa peristiwa penting serta tokoh-tokoh yang berkaitan dengan dunia perbukuan. Tak hanya Bibbi Boken yang mengingini buku-surat mereka, ternyata seseorang yang diberi nama Smiley diam-diam membuntuti mereka untuk mencuri buku surat tersebut.

Siapakah sebenarnya Bibbi Boken dan Smiley ? apakah mereka berada dalam satu komplotan yang menginginkan buku-surat Berit dan Nils ? Seberapa berhargakah buku surat itu bagi Bibbi Boken dan Smiley sehingga mereka begitu menginginkannya? Berhasilkan mereka merebut buku-surat itu ?Adakah sebenarnya Perpustakaan Ajaib itu ? Berhasilkan Berit dan Nils menemukannya dan mengungkap rencana rahasia Bibbi Boken yang terkait dengan perpustakaan ajaib dan konspirasi dalam dunia perbukuan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul terus ketika kita membaca buku ini dan baru akan terjawab di lembar-lembar terakhir novel ini.

Buku ini dibagi dalam dua bagian, bagian pertama : Buku-Surat seluruhnya halamannya merupakan isi dari surat menyurat antara Berrit dan Nilss. Bab ini uniknya karena pembaca secara langsung diajak membaca sendiri buku-surat yang ditulis oleh dua remaja ini. Di bagian kedua : Perpustakaan, barulah kisah ini memiliki alur cerita seperti alur konvensional, di bab ini Berrit dan Nilss telah berada di Fjaerland dan bertemu dengan Bibbi Boken yang akan mengungkap semua misteri perpustakaan ajaib

Berbeda dengan karya-karya Jostein Gaarder lainnya seperti Sophie World, Orange Girll, Rainmaster Daughter, dll yang sarat dengan perenungan hidup. Dalam karya bersamanya dengan Klaus Hagerup ini, Gaarder menyajikan sebuah cerita detektif, cerita misteri layaknya cerita-cerita Lima Sekawan. Namun pembaca tidak hanya disuguhkan dengan serunya penyelidikan Berit dan Nils. Buku ini juga menyajikan pernak-penik dunia buku seperti incabulla, sejarah buku pertama, Guttenberg, teori sastra, teori fiksi , teori menulis, drama, film, perpustakaan dalam gua, bibliografer, dan yang menarik, buku ini juga menyajikan klasifikasi Dewey secara lengkap!. Pembaca juga akan diajak berkenalan dengan Astrid Lindgren, Winnie The Pooh (AA Milne) Anne Frank, Hans Christian Andersen, Roald Dahl, penyair-penyair Skandinavia seperti Jan Erik Vold, Peer Grynt, dll. Di lembar-lembar terakhir kisah ini, pembaca juga akan disuguhkan mengenai tahap-tahapan bagaimana sebuah buku diterbitkan mulai dari menulis, mengedit, mencari ilustrator untuk sampul buku, lay out buku hingga ke percetakan.

Singkatnya, dari awal hingga akhir pembaca akan disuguhkan oleh eksotisnya dunia buku sebagai latar dari petualangan Berit dan Nils. Dilihat dari kisahnya yang menyangkut kosnpirasi perbukuan dan banyaknya istilah dan pernak-pernik dunia perbukuan dan dan gambaran detail dari penulisnya mengenai perpustakaan lengkap dengan buku-bukunya, bisa dikatakan buku ini adalah buku fiksi tentang buku sehingga buku ini dipastikan akan memuaskan selera para pecinta buku sejati.

Kisah dalam buku ini bak surat cinta kepada buku dan dunia kepenulisan.
- Ruhr Nachricht

@h_tanzil
 
ans!!