Thursday 26 January 2006

Laki-Laki yang Salah


Judul : Laki-Laki yang Salah
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 224 hlm ; 18 cm

Cinta! Kisah cinta seakan tak pernah kering untuk diceritakan. Ada banyak hal yang bisa digali dari pengalaman cinta seseorang. Cinta memang manis dan indah dinikmati, ada cinta yang manis mendayu-dayu, ada cinta eros yang bergelora dengan nafsu, ada juga cinta agape yang membuat orang rela menyerahkan kebahagiaannya untuk orang yang dicintainya. Namun tak jarang cinta berbuahkan kepedihan, penyesalan, apalagi jika cinta berlabuh tidak pada tempatnya, jatuh cinta pada saat yang salah atau jatuh pada pribadi yang salah.

Kumpulan cerpen Laki-laki Yang Salah karya Lan Fang ini banyak bertutur mengenai kisah cinta yang salah, pilihan yang salah, dan harus berakhir dalam kepedihan yang dalam karena api cinta harus dipadamkan agar kesalahan tak terus berkepanjangan dan merusak cinta itu sendiri. Buku ini berisi 15 buah cerpen yang sebagian besar diantaranya pernah dipublikasikan di berbagai media cetak dalam rentang waktu antara 1997 hingga 2004. Walau tema yang disajikan dalam seluruh cerpen-cerpen dalam buku ini mengenai cinta, namun antara cerpen yang satu dengan yang lainnya menawarkan keragaman cerita dan dituturkan dalam dua gaya yang berbeda, ada yang pop, ada juga yang sastra sehingga pembaca tidak akan dibuat bosan untuk menikmati cerpen demi cerpennya.

Pada cerpen Laki-Laki yang Salah, yang dijadikan judul buku Kumpulan cerpen ini, Lan Fang menyuguhkan kisah cinta antara Pinkan, seorang penyanyi disebuah café dan Han, anak seorang pengacara terkenal. Tema cerpen ini sebenarnya sederhana dan klasik, Pinkan telah memilih laki-laki yang salah untuk melabuhkan cintanya, walaupun Han benar-benar mencintainya namun kisah cinta mereka kandas dan harus berpisah karena orang tua Han tidak merestuinya karena perbedaan status sosial antara keduanya cukup dalam. Setelah sekian lama berpisah akhirnya Pinkan dan Han bertemu, masing-masing membawa satu cerita yang harus diungkapkan malam itu juga. Walau tema cerpen ini sebenarnya sudah sangat umum namun yang membuat cerpen ini menarik adalah karena cerpen ini ditulis dengan dua sudut pandang yang berbeda dari dua tokoh tersebut. Secara bergantian dan menarik penulis menyajikan karakter dari kedua tokoh tersebut dalam bagian yang terpisah. Awalnya mungkin pembaca akan merasa jika cerpen ini memiliki dua kisah yang berbeda, namun lambat laun kedua tokoh ini akan bertemu membentuk sebuah rangkaian cerita yang menarik.

Selain kisah-kisah cinta yang realis pada buku ini, pembaca juga akan disuguhi sebuah cerita yang surealis yang menarik yang menggugat para penulis agar tidak serta merta mengekspolitasi tubuh wanita dalam tulisan-tulisannya. Pada cerpennya yang berjudul "Jangan Main-Main dengan Perempuan", Lan Fang menyuguhkan sebuah cerita seorang penulis yang tidak suka jika perempuannya hadir disisinya ketika sedang menulis karena sering melakukan intervensi akan apa yang akan ditulisnya. Karena ketidaksukaan itulah, perempuan itu dipasung selama lima tahun oleh si penulis. Namun entah bagaimana tiba-tiba perempuan itu hadir kembali di sisi si penulis dan bertanya "Apa kau menulis tentang perempuan lagi?". Kali ini perempuan tersebut menuntut agar di penulis menulis tentang laki-laki. Dan terjadilah debat kusir antara si penulis dan perempuannya. Dalam cerpen yang dituturkan secara surealis ini pembaca akan disuguhkan pada hal-hal berbau kengerian seperti mulut yang dijahit, lidah yang dipotong dan diawetkan dalam stoples, dan lain-lain, hal ini membuat cerpen ini menjadi menarik dan berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya dalam buku ini. Dialog-dialog antara si penulis dan perempuannya yang menggugat eskploitasi tubuh wantia dalam tulisan-tulisan si penulis melebar hingga menyinggung kesetaraan gender dalam undang-undang perkawinan. Si penulis tetap pada pendiriannya karena ketelanjangan wanita dianggapnya menarik untuk ditulis, sementara si perempuan menuntut agar si penulis menulis pemikiran, ide-ide, semangat, kesakitan yang dialami oleh wanita, bukan ketelanjangannya!

Di bagian akhir buku ini ada pula cerpen menarik yang idenya diambil dari cerpen Bonari Nabonenar yang pernah dimuat di Jawa Pos. Cerpen Lan Fang yang berjudul "Kunang-kunang di Mata Indri" ini separuhnya merupakan cerpen Bonari yang digubah untuk tujuan berkolaborasi atas persetujuan Bonari. Secara memikat Lan Fang mencampurkan cerpen Bonari kedalam cerpennya sendiri sehingga menghasilkan sebuah kisah yang menarik mengenai seorang wanita yang sedang membaca cerpen kekasihnya tentang dirinya yang dimuat di sebuah koran Minggu.

Kelima belas cerpen-cerpen dalam buku ini dibagi kedalam 3 buah bab : Siang, Malam, Pagi yang mencerminkan cerpen-cerpen Lan Fang yang memang selalu menggambarkan suasana waktu. Masing-masing sub bab tersebut dihiasi oleh puisi –puisi berbahasa Inggris yang ditulis oleh Lan Fang kecuali puisi pada bab "Malam" yang ditulis oleh Hendry van duke. Kesemua cerpen-cerpen tersebut ditulis dengan gaya Lan Fang yang khas, kisah-kisah cintanya beragam, kadang cerpen-cerpennya terangkai dengan kalimat-kalimat lancar, kadang meliuk-liuk dalam mempermainkan kalimat-kalimat indah. Hal ini membuat buku ini kaya akan cerita cinta dan ragam dalam gaya penuturannya.

Hampir seluruh cerpen dalam buku ini mengisahkan cinta pada laki-laki yang salah dan berakhir dalam kepedihan, tentunya buku ini bukan dimaksudkan hanya untuk mengharu-birukan pembacanya dan mempersoalkan keburukan pria dalam hal kesetiaan pada pasangannya, melainkan setidaknya seluruh kisah yang ada di buku ini akan membangun kesadaran pembacanya bahwa cinta haruslah tiba pada saat tepat dan berlabuh di tempat yang tepat pula.

@h_tanzil

Liu Hulan : Jaring-Jaring Bunga



Judul : Liu Hulan : Jaring –Jaring Bunga
Judul Asli : Flower Net
Penulis : Lisa See
Penerjemah : Utti Setiawati
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Januari 2006
Tebal : 639 hal
Harga : Rp. 59.000,-

Lisa See, bagi pembaca cerita-cerita action-thriller nama Lisa See mungkin masih terasa asing. Padahal Lisa See, penulis wanita Amerika berdarah Cina ini termasuk novelis yang produktif. 5 buah buku telah ditulisnya, Liu Hulan : Jaring- Jaring Bunga adalah buku pertama dari tiga buku serial detektif Liu Hulan. (The Flower Net, The Interior, Dragon Bones) Novel terbarunya Snow Flower and The Secret Fan,2005 (akan diterbitkan oleh Qanita) yang mengisahkan persahabatan dua wanita Cina dan tradisi pengikatan kaki-kaki wanita Cina, banyak mendapat pujian dari para kritikus dan bertengger di daftar Best Selller sepanjang tahun 2005 di New York Times dan Los Angeles Times. Saat ini novelis yang mantan jurnalis untuk beberapa media terkenal seperti The New rok Times, Publisher’s Weekly, The Washington Post, dan lain-lain ini tinggal di Los Angeles bersama suami dan dua anak lelakinya.

Jaring-Jaring Bunga yang ditulis Lisa See pada tahun 1997 ini merupakan novel action-thriller yang dikemas dengan menarik yang menghadirkan sisi-sisi menarik kehidupan masyarakat Cina lengkap dengan sejarah masa kelam Cina pada saat-saat revolusi kebudyaan . Novel yang bersetting di dua negara besar Amerika dan Cina ini diawali dengan terbunuhnya putera seorang duta besar Amerika Bill Watson di sebuah danau beku di taman Bei Hai di dekat Kota Terlarang -Beijing. Kasus ini langsung ditangani oleh detektif wanita Liu Hulan dari kantor Kementrian Pertahanan Publik Cina. Sepuluh hari kemudian David Stark, seorang Jaksa Penuntut A.S menemukan sebuah mayat yang telah membusuk yang ditemukan dalam sebuah kapal pengangkut imigran gelap yang terapung-apung karena badai di perairan California. Mayat tersebut ternyata Guang Heng Lai – seorang Pangeran Merah anggota komunitas elit politik Cina. Setelah diselidiki ternyata dua mayat tersebut memiliki kesamaan, organ dalam kedua mayat tersebut hancur seperti bubur, dan mulut dan gigi yang menghitam.

Dua kasus ini mengidindikasikan adanya keterpautan dan menarik perhatian dua negara besar (AS dan Cina) untuk berkerjasama membongkar misteri dibalik dua pembunuhan tersebut. . Detektif Liu Hulan dari Cina dan Asisten Jaksa Penuntut Umum AS, David Stark ditugasi oleh masing-masing negaranya untuk mengusut kasus tersebut. David dan Hulan sendiri sebenarnya pernah bertemu dan menjalin asmara ketika Hulan menempuh pendidikannya di AS. Entah karena kebetulan atau disengaja David dan Hulan bertemu kembali dan cinta yang telah terkubur sekian lama seakan terungkit kembali ketika secara tidak terduga mereka harus bertugas untuk mengungkap kasus ini secara bersama-sama

David dan Hulan pun terseret dalam penyelidikan yang mulanya seperti tak berhubungan menjadi kasus yang kait mengkait dan menyeret mereka dalam konspirasi dan jalinan rumit Rising Phoenix, sebuah triad yang saat itu tak tersentuh dan berkuasa baik di Cina maupun Amerika Serikat. Untuk mengungkap kasus ini detektif Liu Hulan menerapkan metode Jaring Bunga, sebuah metode yg digunakan berabad-abad lalu. Jaring Bunga adalah jaring bulat hasil pintalan tangan yang dipasangi beban di ujung-ujungnya. Ketika jaring ini dilempar, jaring ini akan berkembang seperti bunga, mendarat di permukaan air, tenggelam ke kedalaman yang gelap dan menangkap semua yang berada dalam lingkupannya. Berkat metode ini lambat laun latar belakang terbunuhnya kedua orang terkenal tersebut terkungkap, bukan perdagangan narkoba dan penyeludupan imigran gelap ke AS yang selama ini sering menjadi dugaan kuat menjadi bisnis ilegal Triad Rising Phoenix, kasus ini mengungkap adanya bisnis ilegal yang lebih menguntungkan dibanding narkoba dan imigran gelap, yaitu perdagangan empedu beruang liar yang dipercaya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.

Setelah mengetahui latar belakang pembunuhan itu, dan menangkap salah seorang kurir yang kedapatan membawa empedu beruang, Hulan dan David mengutus seorang kurir rahasia untuk masuk ke jantung Rising Phoenix, seorang petinggi Rising Phoenix terjebak dan tertangkap basah, namun bukan berarti kasus ini selesai terungkap, beberapa pembunuhan kembali terjadi bahkan sampai mengorbankan seorang agen FBI dan seorang petugas kepolisian dari Cina. Cerita semakin menarik karena ternyata berbagai kepentingan masuk dalam kasus ini hingga akhirnya David dan Hulan sendirilah yang harus masuk ke jantung penangkaran beruang liar untuk mengungkap semua misteri ini.

Lisa See dalam novel ini menyajikan cerita gabungan antara romansa, thirller dan sepenggal sejarah Cina secara memikat. Terungkitnya kembali kisah asmara antara David dan Hulan disajikan secara proporsional bahkan melengkapi latar belakang cerita. Setting cerita antara Amerika Serikat dan Cina membuat pembacanya tidak bosan. Ditambah lagi dengan penggalan-penggalan sejarah kelam Cina dimasa Revolusi Kebudayaan membuat novel ini dapat memberikan pemahaman yang cukup tentang sejarah dan budaya Cina, terutama yang berkaitan dengan Revolusi Kebudayaan. Selain itu situasi dan perilaku masyarakat Cina pun terkesplorasi dengan baik di novel ini, sehingga melalui novel ini pembaca akan mengetahui kondisi sosial dan politik masyarakat Cina sebelum wafatnya pemimpin besar Cina Deng Xiaoping.

Novel ini tersaji dengan plot yang enak diikuti dan ketegangan yang dibangun dengan menawan, walau terdapat sisipan-sisipan budaya, sejarah, roman, dan lain-lain namun semua itu tak mengganggu kenikmatan membaca karena disajikan secara proporsional dan menjadi bagian penting dari cerita. Bisa dikatakan novel ini mencerdaskan pembacanya khususnya dalam hal sejarah dan budaya Cina. Kepiawaian Lisa See dalam menyajikan konflik-konflik yang sulit ditebak dan akhir yang mencengangkan yang dirangkai dalam kekacauan jaring-jaring politik, kejahatan terorganisasi, kesetiaan keluarga, dan lain-lain membuat novel ini masuk dalam nominasi Edgar Award untuk cerita misteri terbaik, dan masuk dalam daftar New York Times Notable Book of 1997 dan Los Angeles Best Books List for 1997.

Novel Jaring-Jaring Bunga yang memikat ini telah diterjemahkan dengan baik dan lancar kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit qanita, sehingga bagi pembaca indonesia novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi yang dapat dapat dibaca oleh siapa saja baik oleh para penggemar novel action-thriller maupun oleh pembaca yang ingin mengetahui sisi lain kehidupan rakyat Cina, bangsa besar yang gigih mempertahankan nilai-nilainya di tengah maraknya perubahan dunia.

@h_tanzil

Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit


Judul : Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit
Penulis : Hermawan Aksan
Penerbit : C-Publishing
Cetakan : I, Des 2005
Tebal : 326 hal ; 17.5 cm

Dyah Pitaloka, putri Prabu Linggabuana, raja negeri Sunda kerap diganggu mimpi buruk dalam tidurnya. Dalam mimpinya ia melihat matahari yang menggantung di atas cakrawala pelan-pelan terbelah menjadi dua dan mencebur bersama-sama ke dalam laut yang mendadak berwarna merah darah. Mimpi buruk itu terus mengganggunya semenjak utusan dari Majapahit datang ke Negeri Sunda.

Dimasa itu Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk, telah menjadi kerajaan yang besar dan disegani diseluruh Nusantara. Peran Patih Gajah Mada dengan sumpah Palapa-nya yang terkenal membuat hampir seluruh Nusantara takluk dibawah kekuasaan Majapahit. Hanya ada satu negeri yang hingga saat itu masih merdeka dari pengaruh Majapahit, padahal negeri itu hanya dibatasi oleh sebatang aliran sungai Cipamali. Negeri Sunda! Negeri Sunda inilah yang membuat sumpah Palapa Gajah Mada belum juga tergenapi. Tak terhitung sudah berapa kali Gajah Mada berniat untuk menyerang negeri Sunda dengan pasukannya, namun selalu urung karena ia merasa ada semacam wibawa tak kasat mata yang membuatnya segan terhadap Negeri Sunda yang jika ditilik dari sejarah memang telah ada terlebih dahulu dibanding Majapahit, bahkan pendiri Majapahit sendiri memiliki darah sunda dari ayahnya. Sayangnya Gajah Mada tak mempercayai adanya hubngan darah ini sehingga ambisinya untuk menaklukkan negeri Sunda tak pernah padam.

Raja Hayam Wuruk yang saat itu hendak mencari seorang istri mengutus para juru lukisnya ke segenap penjuru nusantara untuk melukis putri-putri dari berbagai kerajaan yang kelak akan dipilihnya untuk menjadi permaisuri. Kecantikan Dyah Pitaloka di Negeri Sunda tak luput dari incaran juru lukis Majapahit. Diantara ratusan lukisan dari berbagai penjuru Nusantara, Hayam Wuruk terpikat oleh lukisan Dyah Pitaloka dan memilihnya untuk dijadikan permaisurinya. Hayam Wuruk segera mengirim utusannya untuk menyatakan niatnya. Mulanya Dyah Pitaloka tak berkenan dengan cara yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk mencari permaisuri, harga dirinya sebagai seorang putri negeri Sunda terasa terlecehkan, namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya, Prabu Linggabuana yang menyetujui lamaran Hayam Wuruk. Untuk itu Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka diundang untuk segera berangkat menuju Majapahit guna melaksanakan pesta pernikahan.

Jika Prabu Hayam Wuruk hanya berniat mencari seorang permaisuri, lain halnya dengan Gajah Mada. Bagi dirinya pernikahan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk dilihatnya sebagai kesempatan untuk menggenapan Sumpah Palapa-nya. Dengan cerdiknya Gajah Mada mempengaruhi Hayam Wuruk agar memandang pernikahannya dengan Dyah Pitaloka sebagai suatu pengakuan kedaulatan negeri Sunda terhadap Majapahit. Dengan demikian Dyah Pitaloka dianggap sebagai "upeti" dari Negeri Sunda.

Prabu Hayam Wuruk yang rencanya akan menjemput Dyah Pitaloka dan rombongannya di Tegal Bubat akhirnya gagal. Gajah Mada merubah rencana yang telah terususun rapih. Rombongan Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka yang telah tiba di Tegal Bubat heran karena Prabu Hayam Wuruk dan rombongan yang akan menjemputnya tak kunjung tiba. Dua ksatria dari Negeri Sunda diutus untuk memasuki Majapahit, mereka bertemu dengan Gajah Mada yang memerintahkan agar dan Prabu Linggabuana dan rombogannya datang sendiri ke istana Majapahit untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai "upeti" dari Negeri Sunda. Hal ini membuat Prabu Linggabuana dan seluruh rombongannya tersinggung. Harga diri dan kebesaran Negeri Sunda terasa tercabik-cabik, Prabu Linggabuna menolak perintah Gajah Mada. Perang tak terhindarkan! Pertarungan yang tak seimbang antara harga diri Prabu Linggabuna dan ambisi Gajah Mada berkembang menjadi perang yang dashyat dan melagenda, dua kekuatan tak mau menyerah begitu saja. Dyah Pitaloka yang masih menggunakan pakaian pengantinnya ikut bertarung mempertahankan negeri dan harga dirinya sebagai seorang putri Sunda. Sejarah mencatar Perang ini sebagai Perang Bubat (1357).

Sejarah adalah merupakan satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Sejarawan ma tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Hermawan Aksan dalam novel perdananya ini mencoba mengangkat fakta sejarah Perang Bubat kedalam novel ini. Tokoh-tokoh sejarah seperti Dyah Pitaloka, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Linggabuana dan lain-lain dideskripsikan menurut versi penulisnya. Dyah Pitaloka dalam novel ini dideskripsikan sebagai seorang putri yang cantik yang haus akan ilmu dan gemar membaca kitab-kitab sastra dan mempelajari ilmu kanarugan. Dyah juga sangat peduli tentang nasib kaum perempuan di negeri Sunda dan memiliki pandangan yang jauh kedepan mengenai peran seorang putri yang dibesarkan dalam lingkungan kerajaan. Karena berada dalam area fiksi deskripsi ini mungkin sah-sah saja, namun mungkin akan menimbulkan tanda tanya bagi pembacanya, apakah mungkin seorang putri yang hidup di abad 13 telah memiliki pandangan yang jauh kedepan terutama dalam hal-hal emansipasi?

Karakter Gajah Mada yang selama ini dikenal sebagai tokoh pemersatu Nusantara dalam novel ini digambarkan sebagai seorang patih ambisius yang rela memanfaatkan cinta rajanya (Hayam Wuruk) untuk memenuhi ambisinya mepersatukan Nusantara hingga harus mati-matian memerangi Prabu Lianggabuana dalam tragedi berdarah di Tegal Bubat. Sedangkan Hayam Wuruk sendiri digambarkan sebagai raja boneka yang mudah dipengaruhi oleh Gajah Mada.

Dari segi plot cerita, novel ini disajikan dengan sangat menarik. Nampaknya Novel ini dikerjakan dengan riset yang cukup mendalam, hal ini terbukti dengan gambaran Perang Bubat yang menjadi klimaks cerita yang disajikan dengan seru dan memikat. Deskripsi kota Trowulan – Majapahit disajikan dengan cukup detail seakan mengajak pembacanya berpetualang ke ibukota Majapahit. Novel ini juga memberi pemahaman pada pembacanya terhadap tokoh Dyah Pitaloka dan kaitannya dengan Perang Bubat yang merupakan awal dari redupnya kebesaran Gajah Mada setelah kejadian ini.

Sebagai Novel Sejarah sebenarnya novel ini sangat berpotensi untuk lebih mengangkat lagi budaya Sunda dan Jawa / Majapahit, sayangnya hal ini tidak tereksplorasi dengan baik. Kurangnya sketsa kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Majapahit membuat novel ini lebih bernuansa istana-sentris karena hanya mengungkap kejaidan seputar istana Sunda dan Majapahit. Jika saja unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat Sunda dan Majapahit terungkap dengan baik novel ini akan menjadi novel sejarah yang gemuk yang akan mengenayngkan pembacanya.

Namun terlepas hal-hal diatas novel perdana Hermawan Aksan ini patut dihargai setinggi-setingginya karena bagaimanapun novel ini mengungkap sepenggal peristiwa sejarah yang mungkin sudah terlupakan dan hanya ditemui dalam buku-buku teks sejarah kedalam sebuah novel yang memikat dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

@h_tanzil

Jangka Jayabaya


Judul : Jangka Jayabaya
Saatnya Bertindak Tanpa rasa Takut
dan Meraih Kejayaan
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2005
Tebal : 216 hal

Jayabaya salah seorang raja Kediri (1130-57), masa pemerintahannya merupakan jaman emas bagi perkembangan sastra Jawa Kuno. Pada masa pemerintahannya inilah Raja Jayabaya menulis syair Jangka Jayabaya yang dipercaya banyak kalangan berisi ramalan tentang masa keruntuhan kerajaannya sendiri, dan sekaligus tentang kebangkitan dan kejayaannya kembali di kelak kemudian hari. Ramalan tentang jatuh-bangunnya "Negeri Jawa" atau Nusantara.

Jangka Jayabaya dikenal dan dipercaya oleh kalangan sangat luas masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Entah sejak kapan "ramalan" ini beredar di tengah masyarakat. Tapi yang pasti ia telah dan akan selalu berulang hadir pada setiap saat masyarakat di dalam kemelut. Entah kemelut karena sebab sosial-politik, entah pula karena adanya bencana atau musibah besar yang melanda.

Banyak sudah tafsir-tafsir terhadap syair-syair Jangka Jayabaya, umumnya para penafsir itu selalu menekankan pada akan datangnya sosok pemimpin hebat yang akan memulihkan zaman yang morat-marit ini menuju zaman yang penuh kemuliaan dan ketentraman sejati. Namun Anand Krishna melalui buku ini mengambil jalur yang jarang ditempuh oleh para penafsir Jayabaya. Alih-alih menantikan seorang tokoh hebat yang akan memimpin kita, baginya Jayabaya bicara mengenai kerinduan akan penemuan jati diri setiap manusia Indonesia. Jadi buku ini sebenarnya adalah tafsir penulis terhadap Naskah Jayabaya, khususnya dengan penekanan pada ajakan untuk mengatasi rasa takut terhadap keadaan sekarang dan untuk bertindak sekarang, demi kejayaan pribadi dan Indonesia.

Jangka Jayabaya, menurut tafsir tokoh spritualis Anand Krishna bukan berarti ramalan. "Jangka" tidak berarti ramalan. Jangka berarti waktu, time…Jangka adalah waktu yang ikut berubah bersama keberadaan. Ramalan memang menarik dan bisa saja akurat, namun ia akan menjadi basi bila telah menjadi kenyataan. Tidak demikian dengan Jangka. Jangka Jayabaya dari dulu hingga kini tetap menarik. Dibaca kapanpun baik-bait Jangka Jayabaya tetap menarik dan selalu relevan. Jayabaya memang abadi, namun bukan si penulis Jangka Jayabaya, tetapi Jayabaya itu sendiri yang abadi. Jaya berarti "menang, kemenangan". Bhaya berarti "rasa takut". Jaya Bhaya berarti "kemenangan atas rasa takut" Karena itulah bagi Anand Krishna Jangka Jaya Bhaya adalah ajakan untuk transformasi diri, mengalahkan ketakutan. Lebih dari sekadar ramalan, naskah kuno ini memaparkan tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, dengan penuh semangat, dan berkarya tanpa rasa takut

Buku yang terdiri dari 30 bab ini mengurai secara rinci bait-bait syair Jangka jayabaya baik dalam bahasa asli (Jawa) maupun terjemahan bahasa Indonesianya. Dasar terjemahannya diperoleh dari situs internet http://www.jawaplace.org/, karya Andjar Any dan Suwidi Tono. Berdasarkan sumber diatas syair-syair Jayabaya ini diedit dan disusun kembali oleh penulis berdasarkan tema dan penulis juga melakukan koreksi terjemahan bila dirasa perlu. Pembagian syair-syair Jayabaya berdasarkan bab-bab dalam buku ini sangat memudahkan pembacanya untuk memahami seluruh syair Jayabaya secara utuh. Seluruh tafsiran Jayabaya dalam buku ini diurai dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disertai contoh-contoh praktis sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat ini. Membaca seluruh tafsir Jangka Jayabaya melalui buku ini, pembaca bukan diajak berpetualang ke masa lalu atau masa depan, melainkan pembaca diajak untuk melihat kekinian, melihat apa yang sekarang sedang terjadi pada saat ini.
Jika dicermati hampir seluruh syair Jangka Jayabaya mewakili keadaan Indonesia pada saat ini dimana tak satupun juga mencerminkan keadaan yang baik, seperti zaman yang bolak balik dimana para ulama mengejar tahta. Rohaniwan lebih suka main sinetron dan menjadi penyanyi. Dan para penyanyi serta pemain sinetron malah berdakwah. Pengusaha menjadi politisi, politisi berdagang. Atau kepemimpinan sekarang dimana para pemimpin lupa akan kewajibannya, padahal pemimpin dipilih oleh rakyat karena janjinya. Namun sayang janji tinggal janji. Sumpah jabatan terkesan tinggal sebuah upacara pelengkap dan kehilangan esensinya. Dalam hal korupsi buku ini mengungkap bahwa ditengah masyarakat yang korup, hampir tidak mungkin hidup tanpa korupsi, sepertinya tak seorangpun diantara kita yang tidak pernah menyuap ‘oknum’ polisi atau pejabat untuk kelancaran urusannya. Bagi si jujur tak mungkin hidup secara jujur di tengah masyarakat yang korup. Singkatnya membaca tafsiran Jangka Jayabaya ini pembaca akan disadarkan bahwa kekacauan di negeri ini sudah merata, sudah serba kacau dan demikian buruknya seolah tak ada harpan untuk keluar dari kekacauan tersebut.

Walau seluruh buku ini mengungkap keburukan keadaan Indonesia pada masa kini, namun di bab terakhir pembaca akan diberikan harapan dan sebuah janji seperti yang diutarakan Jayabaya dalam bait-bait terakhir syairnya. Anand Krishna dibagian akhir buku inipun mencoba untuk memotivasi pembacanya untuk tak takut menghadapi zaman yang serba kacau dan terbolak-balik ini. Melalui tanda-tanda akan hadirnya seorang sosok pemimpin yang sanggup merubah zaman, Anand Krishna memotivasi pembacanya untuk segera bertindak tanpa keraguan karena sesungguhnya kekuatan untuk merubah diri dan merubah zaman ada di tangan kita. Dan siapakah sosok pemimpin yang akan pembawa pembaharuan bagi negeri kita ? Jawabannya ada di lembar paling akhir buku ini.

Yang mungkin agak disayangkan pada buku ini adalah tidak adanya bab khusus mengenai riwayat singkat Jayabaya. Dalam kata pengantarnya Anand Krishna mengatakan bahwa dalam buku ini ia tidak perlu menjelaskan siapa Jayabaya dan apakah ia tokoh hisotiris atau tidak? Anand Krishna membiarkan para ahli sejarah saja yang membahasnya. Hal ini tentunya membuat buku ini terasa kurang lengkap. Tentunya akan lebih bermanfaat jika buku ini menyertakan riwayat singkat Jayabaya baik dari segi historis maupun mitos-mitos yang berkembang di masyarkat sehingga pembaca buku ini selain memperoleh kedalaman bai-bait Jangka Jayabaya, juga memperoleh informasi sejarah yang akan memperkaya wawasan pembacanya.

@h_tanzil

KBN III : Petualangan di Kurdistan


Judul : Kara Ben Nemsi III : Petualangan di Kurdistan
Penulis : Karl May
Penerjemah : Harsutejo
Penerbit : Pustaka Primatama &
Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
Tebal : xvi + 316 : 14x21 cm ; ilustrasi
ISBN : 979-3930-01-2

Kara Ben Nemsi atau Old Shatterhand (tokoh sentral dalam seri Winneou) kali ini melanjutkan perjalanan panjangnya di "Dunia Timur". Ia bersama empat orang kawannya yaitu Hajji Halef Omar, Sir David Lindsay, Sheikh Haddedihn Muhammed Emin, dan Amad el Ghandur, kini berada di jantung pegunungan Kurdistan. Dalam perjalanannya mereka bertemu dengan suku Kurdi Bewari yang mengundangnya untuk tinggal dalam perkampungan mereka. Namun ternyata ada maksud tersembunyi dari orang-orang Kurdi tersebut, mereka menginignkan kuda-kuda dan senjata mereka. Kara Ben Nemsi dan kawan-kawannya terjebak. Namun berkat kecerdikan Kara Ben Nemsi, ia dan kawan-kawannya berhasil meloloskan diri walau akhirnya tertangkap kembali. Dalam keadaan sebagai tawanan tiba-tiba seorang utusan dari penguasa Gumri mengenalinya dan mengundangnya menemui penguasanya (Bey dari Gumri). Dari status tahanan Kara Ben Nemsi dan kawan-kawannya kini menjadi tamu Bey dari Gumri, seorang penguasa suku Kurdi yang disegani oleh sukunya. Dari pertemuannya dengan Bey terungkap bahwa saat itu sedang terjadi pertikaian antara suku Kurdi Bewari yang Muslim dan suku Chaldani yang Kristen Nestorian.

Esoknya ketika mereka berburu beruang di Mia, Kara Ben Nemsi dan Lindsay terpisah dari rombongan, tiba-tiba mereka diserang oleh orang-orang Nestoria yang dipimpin oleh Melek dari Lizan, Kara Ben Nemsi dan sahabatnya Sir David Lindsay tertangkap. Lagi-lagi Kara Ben Nemsi dan sahabatnya berhasil melarikan diri, ketika mereka baru sampai ke tempat mereka ditangkap, mereka bertemu dengan orang-orang Chaldani yang berbeda yang berhasil menangkap Bey dari Gumri ketika mereka berburu beruang. Dari percakapan dengan mereka ternyata nama Kara Ben Nemsi telah dikenal dengan baik karena pernah menyelamatkan seorang gadis di Amadijah yang merupakan cucu dari Maria Durimeh yang disegani oleh suku Chaldani maupun suku Kurdi Bawari. Pengalaman itu menyelamatkan nyawa Kara Ben Nemsi dan kawan-kawannya sehingga mereka dijadikan tamu kehormatan bagi suku Chaldani yang dipimpin oleh Melek dari Lizan. Namun Bey dari Gumri yang merupakan musuh orang Chaldani tetap dijadikan tawanan sebagai sandera.

Dengan ditawannya Bey dari Gumri pertikaian antara Suku Kurdi Beari dan suku Chaldani tak terelakkan lagi, suku Kurdi tengah bersiap berperang melawan suku Chaldani. Kara Ben Nemsi yang saat itu berada ditengah-tengah suku Chaldani mencoba untuk menghindari terjadi pertempuran berdarah antara dua suku tersebut, statusnya sebagai tamu terhormat baik bagi suku Kurdi maupun suku Chaldani dan pengalamannya yang pernah menyelematkan cucu Maria Durimeh, tokoh spiritual yang disegani oleh kedua belah suku membuat dirinya dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai. Kara Ben Nemsi pun segera beraangkat menuju perkemahan suku Krudi untuk mencoba menjadi juru damai.

Perjalanan Kara Ben Nemsi menjadi juru damai tidaklah mulus, berbagai tantangan menghadangnya hingga akhirnya ia bertemu dengan Roh Gua alias ‘Ruh I’ Kulyan’ yaitu roh yang berada dalam gua yang biasanya dijadikan tempat bertanya bagi kedua belah suku yang bertikai. Roh Gua, Maria Durimeh dan peran Kara Ben Nemsi inilah yang nantinya akan menentukan apakah pertikaian antar dua suku yang sudah diambang peperangan itu akan meletus atau tidak.

Dalam Petualangan di Kurdistan ini Karl May menyajikan petualangan yang tak kalah seru dengan seri Winnetou maupun seri-seri Dunia Timur lainnya. Yang paling menarik di buku ini adalah terungkapnya sejarah kelam kemanusiaan yaitu peristiwa pembantaian yang mengerikan yang dilakukan oleh suku Kurdi Bewari yang Muslim terhadap suku Chaldani yang Kristen Nestorian. Selain itu di bab terakhir buku ini akan terungkap secara jelas apa alasan Kara Ben Nemsi/ Old Shatterhand melakukan petualangan tanpa akhirnya di dunia Barat maupun Dunia Timur. Beberapa ilustasi yang direpro dari sumber klasik Karl May Verlag dan "Karl May's Ilustrieste Werke" karya Joseph Ulrich membuat buku ini semakin menarik untuk dinikmati oleh para pecinta Karl May.

Poin tambahan untuk buku ini terletak pada lampiran yang berisi catatan penerjemah Inggris dimana catatan ini adalah catatan konsep yang tidak dapat diterjemahkan tanpa memberikan tambahan kepada teks asli dan rujukan lain yang menjelaskan konsep tersebut disinggung tanpa keterangan lebih lanjut (hal 297). Melalui catatan ini pembaca akan mengetahui bahwa kisah petualangan yang ditulis oleh Karl May bukan berdasarkan imajinasi belaka melainkan berdasarkan riset kepustakaan yang beragam pada zamannya. Salah satu yang paling menarik adalah catatan mengenai peristiwa pembantaian orang Kristen di Lizan yang diambil dari buku A.H. Layard "A Popular Account of Dsicoveries at Niniveh", JC Derby, New York, 1854, yang mungkin sekali diambil oleh Karl may sebagai bahan dasar sebagian besar kisah di buku ini.

Buku Kara Ben Nemsi III : Petualangan di Kurdistan ini diterjemahkan dengan baik oleh Harsutejo, seorang penerjemah buku yang pernah menerjemahkan beberapa buku termasuk buku Kara Ben Nemsi II : Penyembah Setan. Buku ini diterjemahkan berdasarkan naskah terbitan Amerika sebagai sumbernya, yaitu Oriental Odyssey III Travel Adventures in Kurdistan, Psi Computer Pty, Ltd (2003) yang diterjemahkan oleh Michael Michalak, seorang penggemar Karl May keturunan Jerman. Sedang sumber yang diapakai oleh Michalak adalah naskah asli Jerman karya Karl May yang masih berbentuk cerita bersambung di sebuah majalah Jerman pada tahun 1881-1882. Walau terjemahan dari bahasa Inggris, namun terjemahan Michalak ini sangat terjaga ketaatannya pada naskah asli, sehingga keotentikannya bisa dipertanggung jawabkan. Petualangan di Kurdistan ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Pradya Paramita pada tahun 1960-an berdasarkan versi Belanda yang telah banyak mengalami perubahan dari naskah aslinya.

Akhirnya, sebuah saga panjang siap mengajak pembacanya untuk berkelana ke pelosok-pelosok Dunia Timur dalam kisah yang ditulis tak kurang dari 7 tahun oleh Karl May, sang jawara kisah petualangan

@h_tanzil

Keajaiban untuk Ila


Judul : Keajaiban Untuk Ila
Penulis : Anindita
Penerbit : DAR! Mizan, cet I/Juni 2005
Tebal : 123 hal ; ilus: 17 cm
Genre : Novel Anak Islami

Setahun sudah tragedi Tsunami meluluh lantakkan Banda Aceh dan sekitarnya. Banyak sudah karya-karya tulis yang mengangkat tragedi Tsunami sebagai latar belakang tulisannya baik itu berupa laporan jurnalistik, cerpen, puisi, lirik lagu, dan lain sebagainya. Namun dari semua itu sangat sedikit yang menuangkannya dalam bentuk novel anak. Novel "Keajaiban untuk Ila" karya Anindita adalah salah satunya, bahkan mungkin satu-satunya dalam genre sastra anak yang menggunakan tragedi Tsunami sebagai latar belakang ceritanya.

Novel anak "Keajaiban Untuk Ila" ditulis oleh Anindita Siswanto Thayf, penulis muda lulusan Fakultas Elektro Universitas Makasar yang banyak berkecimpung dalam dunia tulis menulis semenjak mahasiswa hingga kini. Kini ia aktif menulis artikel di Astaga.com, tabloid Nova, Makassar Terkini dan Kompas Anak. Ia juga pernah menulis naskah Film Dokumenter BP DAS DT II Kab Sidrap dan naskah Film Dokumenter BP DAS DT II Kab Sinjai Sulawesi Selatan.

Anindita juga piawai dalam menulis puisi, salah satu puisinya "Soul" dimuat dalam antologi puisi The Silence Within (Poetry.com2002), dan puisinya yang berjudul "Gate of Terror" masuk menjadi salah satu nominasi International Society of Poets, 2005.Pengalamannya yang beragam dalam dunia tulis menulis itulah yang mengantarnya membuat sebuah novel anak ini.

Novel Keajaiban Untuk Ila menceritakan kisah tragis seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang bernama Ila. Ila tinggal di pesisir pantai Aceh, ia anak yang pintar dan memiliki keinginan yang kuat untuk bisa segera bersekolah. Beberapa bulan lagi usianya genap 7 tahun yang berarti impiannya untuk bisa bersekolah akan segera terwujud. Kakek Ila rupanya tanggap akan keinginan cucunya ini, belum lagi Ila berulang tahun kakeknya telah menghadiahinya sebuah tas baru lengkap dengan alat tulisnya. Namun baru saja beberapa saat Ila mengenakan tas baru, tiba-tiba bencana dahsyat datang. Gelombang pasang setinggi pohon kelapa menerjang seluruh benda dan mahluk hidup yang ada di pesisir pantai tempat Ila tinggal. Ila yang saat itu sedang bersama kakeknya mencoba menyelamatkan diri dengan berlari menuju bukit, namun kemanapun ia dan kakeknya berlari dinding air bah mengikutinya hingga akhirnya hempasan air yang sangat keras menghantam mereka dan memisahkan Ila dari genggaman kakeknya. Ila akhrinya terapung-apung sendirian sambil memeluk sebuah papan pintu dengan air bercampur sampah disekelilingnya. Ila hanyut selama 3 hari. Ia haus, lapar, dan rindu pada kakek, ayah dan ibunya. Akankah keajaiban datang kepada Ila ?

Novel anak ini dibuat dengan kalimat-kalimat sederhana khas anak-anak. Ceritanya yang bergulir dengan cepat dan memikat membuat pembaca novel ini enggan melepaskan novel ini sebelum sampai pada halaman terakhirnya. Novel ini dimulai dengan latar belakang kehidupan dan keseharian Ila beberapa saat sebelum bencana tiba. Hampir sebagain besar novel ini menceritakan saat terjadinya bencana mulai dari gempa, datanganya gelombang pasang, terapung-apungnya Ila ditengah air bah hingga keajaiban yang dialami Ila. Semua hal diatas terungkap dengan baik sehingga gambaran bencana itu terasa mencekam dan menyentuh hati pembacanya.

Saat Ila terapung-apung ditengah air bah rupanya menjadi inti dari novel ini. Apa yang mungkin dirasakan dan dipikirkan oleh seorang anak kecil ketika harus sendirian terapung-apung ditengah air bah sambil menahan rasa lapar, haus dan kerinduannya yang dalam untuk bertemu keluarganya terungkap secara baik di novel ini. Beberapa nilai positif yang patut diteladani anak-anak terungkap dalam pikiran Ila saat ia sendiri, misalnya ketika ia didera rasa lapar. Ia teringat akan dirinya kerap tak menghargai makanan yang diterimanya dengan selalu tidak menghabiskan sarapan pagi nasi goreng buatan ibunya. Selain itu berbagai peristiwa yang dialami Ila ketika terapung-apung sendirian tereksplorasi dengan baik sehingga bagian ini menjadi bagian yang paling menarik dari novel ini. Banyak nilai-nilai positif bagi anak-anak yang bertaburan dalam novel ini, namun karena novel ini ditulis berdasarkan sudut pandang seorang anak –anak, maka tak sedikitpun novel ini terkesan menggurui pembacanya.

Ceritanya yang mengalir cepat dan kalimat-kalimatnya yang sederhana dan enak dibaca oleh anak-anak membuat novel anak ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi anak-anak yang membacanya. Tak heran dari semua hal-hal positif yang terungkap diatas, novel ini dianugerahi sebagai Pemenang I Sayembara Menulis Novel Anak Islami 2005 yang diselenggarakan oleh penerbit DAR! Mizan. Dari segi pengemasan novel ini tampaknya dikemas dengan sangat baik, selain covernya yang menarik, ukurannya yang kecil memudahkan anak-anak membawanya, selain itu terteranya batas usia yang disarankan (7-12 thn) pada cover depan novel ini memudahkan para orang tua dalam merekomendasikan novel ini bagi putra-putrinya.

Ditengah langkanya novel anak karya penulis lokal, kehadiran novel Keajaiban Untuk Ila ini sangat patut dihargai, dan amatlah bijak jika para orang tua merekomendasikan pada putra-putrinya agar dapat membaca novel ini.

@h_tanzil

Pangeran Caspian


Judul : The Chronicles of Narnia : #4 Pangeran Caspian
Penulis : C. S. Lewis
Penerjemah : Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Utama, cet-1, 2005
Tebal : 280 hal ; ilustrasi; 18 cm

Peter, Susan, Edmund & Lucy baru saja menyelesaikan liburan sekolah mereka. Keempat anak itu sedang duduk di stasiun kereta api dengan koper-koper dan kotak mainan tertumpuk disekeliling mereka. Mereka hendak menuju kembali ke sekolah. Beberapa menit lagi kereta akan tiba untuk membawa mereka ke sekolah.

Stasiun itu stasiun desa yang sunyi dan sepi, nyaris tidak ada siapapun di peron kecuali mereka. Tiba-tiba sesuatu yang tak nampak menrik keempat anak itu dengan kuat. Lalu koper-koper, bangku, peron, dan stasiun menghilang dan tiba-tiba keempat anak itu menemukan diri mereka berada di tengah hutan lebat. Mereka tersedot kedalam dunia Narnia!

Waktu Narnia dan dunia tidaklah sama, sejak kunjungan pertama mereka ke Narnia (The Lion, the Wtich, and the Wardrobe – Gramedia,2005), waktu di Inggris baru berlalu satu tahun, namun di Narnia waktu telah berlalu beberapa ratus tahun lamanya.

Ketika keempat anak itu tersedot kembali ke Narnia, Narnia diperintah oleh Raja Miraz yang kejam. Miraz menjadi raja setelah membunuh Raja Caspian IX, putranya Caspian X diasuh oleh Raja Miraz dan Ratu Prunaprisma yang saat itu belum memiliki anak. Dari inang pengasuhnya, Caspian mendengar kisah-kisah Narnia kuno yang sebenarnya dilarang diceritakan oleh Miraz karena khawatir akan membangkitkan terungkapnya kejayaan kerajaan Narnia masa lampau yang diperintah oleh dinasti Caspian. Begitu Raja Miraz mengetahui perbuatan inang pengasuh Pangeran Caspian segera saja Raja Miraz memecatnya, namun tanpa diketahui oleh Raja Miraz, Pangeran Caspian dapat tetap mendengar kisah-ksiah tersebut melalui gurunya Dr. Cornelius.

Suatu malam Ratu Prunaprisma melahirkan seorang anak. Kini Raja Miraz memiliki putera mahkota sendiri, tentulah Miraz akan menghabisi Pangeran Caspian. Mencium gelagat itu Dr. Cornelius membantu Pangeran Caspian untuk melarikan diri dengan membekalinya dengan sekantung emas dan sebuah terompet ajaib yang bisa digunakan jika Pangeran Caspian berada dalam bahaya besar. Dalam pelariannya Pangeran Caspian bertemu dengan penghuni asli Narnia yang terdiri dari hewan yang bisa berbicara, faun, drawft, dan lain-lain. Beberapa mahluk mencurigainya namun sebagian besar mendukungnya dan mereka bersiap merebut kerajaan Narnia dari tahta Miraz yang lalim.

Begitu Raja Miraz mengetahui Pangeran Caspian kabur, ia segera mengerahkan pasukan untuk mengejarnya. Peperangan antar pasukan Miraz dan pendukung Pangeran Caspian tak terhindarkan. Tak cukup kuat menahan gempuran pasukan Miraz, dalam keadaan terdesak Pangeran Caspian segera meniup terompet ajaibnya. Oleh tiupan terompet itulah keempat anak (Peter, Susan, Edmund, Lucy) yang pernah menjadi Raja Narnia dimasa lampau tersedot kembali ke Narnia. Ketika kembali ke Narnia, keempat anak bertemu dengan seorang drawf yang menolong mereka untuk bertemu dengan Pangeran Caspian. Merekapun segera menuju daerah pertempuran, dalam perjalananya mereka bertemu kembali dengan sang Singa (Aslan) yang turut menyertai mereka dalam perjalanan untuk membantu Pangeran Caspian merebut kembali haknya sebagai raja Narnia. Berhasilkah perjalanan mereka sampai ke tempat tujuan tepat pada waktunya ?

Buku Pangeran Caspian merupakan buku keempat dari tujuh buku dalam seri The Chronicles of Narnia karya CS. Lewis, terbit pertama kali pada tahun 1951, tepat setahun setelah The Lion, the Witch, and The Wardrobe (1950) terbit. Jadi walau secara kronologis cerita buku ini merupakan buku keempat dari seri Narnia namun dilihat dari urutan terbitnya buku ini merupakan buku kedua dari seri Narnia yang ditulis CS. Lewis.

Sama seperti judul-judul lainnya dalam seri The Chronicles of Narnia , kisah Pangeran Caspian ini menyuguhkan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi di negeri Narnia lengkap dengan hewan-hewan yang bisa berbicara, peristiwa-peristiwa ajaib dan kisah petualangan yang akan menggairahkan pembacanya. Kepiawaian Lewis dalam menyuguhkan cerita yang mendidik namun menakjubkan inilah yang menyebabkan setiap judul dari seri The Chronicles of Narnia senantiasa menjadi kisah yang menyenangkan dibaca bagi para anak-anak remaja namun tetap memikat bagi pembaca di segala usia. Dan yang pasti seri The Chronicles of Narnia ini walau telah ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu, karya ini terbukti telah menjadi karya klasik fiksi fantasi remaja yang dan abadi karena masih terus diterbitkan ulang dan dibaca orang hingga kini.

@h_tanzil

Kembang Gunung Purei


Judul : Kembang Gunung Purei
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia
Cetakan : April, 2005
Tebal : 227 hal
ISBN : 979-22-1295-7

Lan Fang, penulis muda kelahiran Banjarmasin, walau terlahir dalam keluagra keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang lebih suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar. Kesukaaannya menulis membuatnya ia mencoba-coba mengirim cerita pendek pertamanya ke Majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986 dan langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman depan majalah tersebut. Semenjak itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Periode 1986-1988 ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang dimuat diberbagai majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Sejak 1997 Lan Fang mememangkan berbagai lomba penulisan yang diadakan majalah Femina. Dua buah novelnya Reinkarnasi (2003) dan Pai Yin (2004) telah diterbitkan oleh Gramedia. Pada tahun 2003 Lan Fan berhasil menyelesaikan novelnya "Kembang Gunung Purei" yang telah mengendap selama hampir lima tahun lamanya dan novel ini memperoleh pengharaan Lomba Novel Femina 2003. Dan kini novel tersebut kembali diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2005 ini.

Tidak seperrti dua novelnya terdahulu "Reinkarnasi" dan "Pai Yin" yang kental dengan budaya Cina, rupanya dalam novel terbarunya ini Lan Fang mencoba keluar dari pengkotakan spesifikasi budaya Cina dan mencoba mencari unsur budaya lain yang akan dijadikan setting ceritanya. Akhrinya karena Lan Fang lahir dan dibesarkan di Banjarmasin-Kalimantan Selatan maka ia memilih budaya Kalimantan untuk membungkus novel terbarunya ini.

Kembang Gunung Purei berkisah tentang kisah cinta seorang pemuda Banjarmasin Nanang Syam yang baru saja mendapatkan promosi sebagai area manager disebuah perusahaan penebangan hutan yang beroperasi di Hutan Bumban-Kalimantan. Namun promosi ini mengharuskan dirinya terikat kontrak selama dua tahun di hutan Bumban, hal ini memicu permasalahan dengan Ida, tunangannya. Ida rupanya mempertanyakan rencana pernikahan mereka dan keberatan jika dirinya harus tinggal di hutan setelah menikah nanti. Namun ambisi Nanang mengalahkan rencana pernikahannya. Ia tetap menjalankan kontrak penebangannya. Tanpa disangka, Nanang mendapatkan kecelakaan kerja yang mengakibatkan kehilangan pergelangan tangan kanannya.

Kehilangan salah satu pergelangan tangannya membuat Nanang terpukul, apalagi ketika ia harus menerima kenyataan Ida, tunangannya membatalkan pertunangan mereka. Alih-alih ketertekanan jiwanya karena menjadi cacat dan kehilangan kekasih Nanang menenggelamkan dirinya kedalam pekerjaannya di hutan Bumban, ia memperpanjang kontraknya untuk dua tahun lagi. Namun ditengah kesibukan pekerjaannya, dalam hatinya masih tersimpan bayang-bayang hitam akan masa depannya yang sewaktu-waktu muncul kala dirinya menyendiri. Dalam kesedihan dan patah semangat itulah Nanang bertemu dengan Bua, seorang gadis Dayak Ngaju dari dusun pedalaman Gunung Purei yang kerap ditemuinya kala Bua menjajakan dagangannya diatas perahu di sungai Barito. Akhirnya Nanang lambat laun terpikat dan mencintai Bua. Hubungannya dengan Bua memulihkan dirinya dari kesedihan dan menyembuhkan jiwanya yang tertekan.

Bua sendiripun memiliki kehidupan yang kelam. Dirinya harus hidup dalam kutukan akibat ia pernah menolak dikawinkan dengan seorang pemuka adat di kampungnya. Dan kutukan inipun berlaku pula untuk pria yang mencoba mendekati Bua. Namun karena cintanya Nanang tak menghiraukan kutukan itu. Bua pun tak tinggal diam iapun mencoba memunahkan kutukan tersebut melalui sebuah upacara adat. Singkat cerita akhirnya Nanang Syam tanpa diketahui oleh kedua orangtuanya menikah secara adat di Desa Gunung Purei tempat Bua berasal.
Namun ketika kebahagiaan baru saja direguk dan Bua telah mengandung. Tiba-tiba ayah Nanang meminta putranya untuk mencoba menjalin kembali hubungannya dengan Ida yang baru saja mengalami kecelakaan dan telah menjadi buta. Terhenyak oleh berita tersebut Nanang mengunjungi Ida. Rupanya di satu sisi Nanang masih menyimpan rasa terhadap Ida. Tapi di sisi lain, ia juga amat mengasihi Bua, yang saat itu telah mengandung anaknya. Cinta masa lalu dan masa depan membuat Nanang Syam terombang-ambing dalam pilihannya sampai akhirnya suatu peristiwa memantapkan Nanang akan pilihan cintanya.

Yang menarik dari Novel Kembang Gunung Purei ini. Novel ini tak hanya menyajikan cerita fiksi imajinatif, namun novel ini bisa dikatakan akan menambah wawasan pembacanya karena dibalut dalam seting pedalaman Hutan Bumba Kalimantan Selatan dan Suku Dayak Ngaju lengkap dengan kondisi sosial budayanya ditampilkan dalam novel ini. Tak kalah menariknya novel ini juga menampilkan suasana dan proses kerja perusahaan penebang hutan dan perasaan para pekerjanya yang dihadapkan pada garangnya medan dan kondisi psikologis mereka ditempat terpencil.

Sebetulnya novel Kembang Gunung Purei karya Lan Fang ini memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi novel cultural yang menyajikan potret lengkap salah satu budaya Kalimantan jika saja Lan Fang bisa lebih mengeksplorasi segi sosial budaya masyarakat Suku Dayak Nagaju lengkap dengan tradisi-tradisi yang dimilikinya. Namun sejauh apa yang telah dihasilkan Lan Fang dalam novel terbarunya ini tentu patut dihargai karena novel ini telah menghadirkan sebuah upaya mengenalkan budaya Kalimantan sekecil apapun ke dunia luar.

@h_tanzil

Wednesday 25 January 2006

Indonesia Jaya


Judul : Sebuah Refleksi Sejarah
INDONESIA JAYA
Segemilang Apapun Masa Lalumu,
Masa Depanmu Lebih Cemerlang!
Penulis : Anand Krishna
Kata Pengantar : Dr. Asvi Warman Adam
Penerbit : PT. One Earth Media, Agustus 2005
Tebal : xxx + 358 hal
ISBN : 979-99450-9-7

Jika kita mau belajar dari sejarah, belajar dari masa lalu, akan kita dapatkan bahwa budaya Nusantara ternyata memiliki pondasi peradaban budaya yang tinggi yang menopang berdirinya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara (Sriwijaya, Majapahit,dll) berabad-abad yang lampau. Namun sayangnya penjajahan selama ratusan tahun, telah dengan sistematik menghilangkan "ingatan kolektif" kita akan asal-usul budaya kita yang tinggi. Dengan sengaja kita dipecah-belah, supaya tidak bisa bersatu sebagai sebuah bangsa. Semenjak itulah hingga kini, bangsa kita menjadi bangsa yang secara mentalitas telah terpecah-pecah dan kehilangan perekat yang akan mempersatukan bangsa Indonesia menuju Indonesia yang jaya.

Buku "Indonesia Jaya" yang ditulis oleh Anand Krishna yang dikenal sebagai guru spritual lintas agama yang juga memiliki kepedulian amat tinggi terhadap persatuan dan kesatuan bangsa ini mencoba menyadarkan pembacanya bahwa Indonesia sebenarnya memiliki ‘perekat’ yang harus digali kembali bagi kesatuan bangsa dan kejayaan Indonesia. Buku ini merupakan rangkaian refleksi pemikirannya yang utuh dalam mewujudkan Indonesia yang Jaya. Refleksi sejarah yang ditulis oleh Anand Krishna ini digali dan dirangkai dari keping-keping sejarah Nusantara yang tercecer, terselip, sempat hilang atau yang sengaja’dihilangkan’ untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu. Karena itu tak heran dalam buku ini pembaca akan diajak membaca secara langsung kutipan-kutipan dari sumber-sumber sejarah yang tercecer tersebut. Terdapat ratusan kutipan-kutipan teks dari sumber-sumber sejarah baik primer maupun sekunder yang menghiasi buku ini, mulai dari teks-teks yang berasal dari prasasti kuno hingga karya sejarahwan Danys Lombard akan kita temui dalam buku ini. Dan hasilnya buku ini menjadi sebuah buku refleksi sejarah yang dapat berbicara dengan jelas tentang asal-usul, pondasi dan karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya memiliki nial-nilai budaya yang tinggi yang pernah menopang kejayaan sejumlah kerajaan besar di Nusantara selama ratusan tahun lamanya.

Anand Krishna membagi buku ini kedalam tiga bagian besar : Indonesia Kini, Nusantara Dulu, dan Indonesia Jaya. Pada bagian pertama, buku ini mencoba mengugah kesadaran pembacanya dengan judul yang provokatif "Aku Bangga Jadi Orang Indonesia", namun dalam bagian ini yang ditemui adalah sebuah kenyataan yang menyakitkan, ketika kita bangga karena Indonesia adalah negara yang luas wilayah dan banyaknya jumlah pulau yang kita miliki justu hingga kini tak ada kepastian tentang batas wilayah dan jumlah pulau yang kita miliki, bahkan keduanya kadang masih dipertentangkan dengan negara tetangga.

Ketika kita bangga akan kekayaan alamnya, kenyataannya kita menjadi pengimpor gula dan beras. Ketika kita bangga akan ragamnya agama yang dianut oleh bangsa kita, justru ahlak kita semakin merrosot dan fanatisme agama mulai mengoyahkan kesatuan kita.. Ketika kita bangga akan ragamnya suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia, justru kini konflik-konflik kedaerahan muncul disana-sini dan bangsa ini terancam disintegerasi dan menuju kehancuran.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan diatas, secara runut Anand Krishna mencoba membuka kesadaran pembacanya bahwa Indonesia sesungguhnya bisa mengatasi masalah-masalah diatas asal kita memiliki ‘perekat’ yang kuat yang sebenarnya telah ada dalam diri bangsa ini yang bisa diperoleh dari "Melihat kedalam Diri" dan "Belajar dari Masa Lalu"

Pada bagian kedua yang berjudul Nusantara Dulu, Anand Krishna mengungkap kekayaan budaya dan kebesaran kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Selain itu diulas juga kebesaran-kebesaran budaya masa lalu, terungkap pula keadilan dan penegakan hukum yang ternyata sudah dimiliki oleh kerajaan Sriwijaya yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti batu yang berasal dari tahun 684 Masehi yang ditemukan di Talang Tuwo, dekat Palembang. Prasasti batu tersebut secara jelas memuat aturan-aturan hukum yang intinya menyatakan bahwa ‘hukum berlaku sama" bagi setiap orang, siapa saja. Seorang anak raja, petinggi negara, pejabat, siapa saja-tak seorangpun immune terhadap hukum (hal 105). Dalam prasasti ini terdapat pula semacam sumpah jabatan yang memiliki konsekuensi hukuman jika raja, pejabat melanggar sumpahnya.

Bab ini menguraikan pula masa-masa awal Majapahit dan runtuhnya Majapahit serta pengaruh kekuasaan Cina yang dikaitkan dengan kedatangan Laksamana Ceng Ho ke Pulau Jawa. Dari keruntuhan Majapahit pembaca diajak untuk mengetahui bagaimana Majapahit digerogoti baik dari dalam maupun luar hingga ahirnya Majapahit terhapus dari bumi Nusantara dan Anand Krishna mencoba merefleksikannya dengan kondisi Indonesia saat ini. Dalam kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho, Anand Krishna mencoba membuka kesadaran baru bahwa sebenarnya kedatangan Cheng Ho bukan semata-mata membawa misi dagang dan agama melainkan ada maksud-maksud politis yang diembannya. Strategi politik yang dimainkan Cheng Ho dengan ‘menanam’orang Ming di setiap pelabuhan, kota dan negara yang disingahinya merupakan senjata ‘patronase’ yang cukup efektif bagi Ming sendiri. (hal273)

Pada Bagian ketiga : Indonesia Jaya, buku ini membangun kesadaran agar bangsa ini bangkit dari keterpurukannya dan secara gamblang Anand Krishna mengungkap "lubang-lubang" yang dapat membuat perjalanan bangsa ini terjatuh, yaitu hilangnya perekat bagi kesatuan dan persatuan bangsa, "penjajahan" yang dilakukan berbagai pihak dalam berbagai bidang, fanatisme agama dan lubang terakhir adalah ketergantungan pada kekuatan-kekuatan luar. Dalam bab ini Anand Krishna juga secara tegas menyuguhkan Action Plan untuk menuju Indonesia Jaya, yaitu : BERSATU! . Hendaknya "persatuan" dan kebangsaan", "kebersamaan", "budaya asal". "toleransi antar agama", dan sebagainya tidak hanya menjadi wacana. Jiwai persatuan. Terjemahkan kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari. (hal 353)

Bobot buku ini sebagai buku bertema sejarah ini terangkat pamornya dengan dengan kata pengantar yang ditulis secara koprehensif mengenai "Apakah Indonesia Akan Jaya?" oleh sejarahwan/Ahli Peneliti Utama LIPI Dr. Asvi Warman Adam. Dalam kata pengantarnya ini Asvi bukan hanya memberikan sekedar sekapur sirih yang mengantarkan pembaca akan apa yang ditulis pengantar, melainkan kata pengantarnya ini bisa dianggap sebagai epilog atau lampiran dalam buku ini yang bisa dijadikan pembanding yang mengajak pembaca mendiskusikan problem besar yang dihadapi bangsa dewasa ini. (xv)

Selain itu buku ini juga menyajikan ratusan kata mutiara yang mencerahkan dari para tokoh bangsa yang disajikan di setiap halaman genap seluruh buku ini yang dikutip dari buku "Polemik Kebudayaan" – Achdiat K. Mihardja (Pustaka Jaya, 1977) dan "Karya Ki Hadjar Dewantara Bag II: Kebudayaan" (Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogya, 1994)

Walau buku ini sarat dengan kutipan-kutipan dari berbagai sumber sejarah, namun membaca buku ini tak seperti membaca buku-buku teks sejarah yang kaku dan hanya berisi tahun dan peristiwa-peristiwa penting saja, namun keseluruhan peristiwa sejarah yang terungkap juga disertai dengan pandangan-pandangan pemikiran Anand Krihsna yang akan menyadarkan pembacanya akan kejayaan Nusantara di masa lalu dan bukan itu saja buku ini setidaknya akan membuat pembacanya menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki "pondasi" atau "akar budaya" yang kokoh untuk bangkit dan menjadi bangsa yang besar dan menjadi Indonesia yang Jaya.

@h_tanzil

Jus't Looking for Daniel


Judul : Just Looking for Daniel (Mencari Daniel)
Penulis : Ita Siregar
Penerbit : Gradiens Book
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 296 hal

Apa sih susahnya mencari pasangan hidup?
Ah, gampang kok. Siapa bilang susah? Tapi kenapa ya sampai sekarang aku belum juga punya pasangan? Ya, tentu saja karena cari pasangan hidup itu kan tidak..gampang. (hal 5)

Mungkin monolog seperti diatas sering dialami oleh para wanita lajang yang hingga usia diatas tigapuluh tahun masih juga belum memiliki pasangan hidup. Umumnya para wanita di Asia yang telah berusia diatas tigapuluh tahun dan belum memiliki pasangan akan menghadapi situasi dimana begitu banyak pertanyaan yang diajukan pada dirinya seperti "Kenapa belum menikah?", "Sampai kapan mau hidup sendiri?, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan budaya timur menganggap laki-laki atau wanita dewasa yang masih hidup sendiri sering dianggap pribadi yang "tidak lengkap". Karena itu seorang wanita dewasa yang masih hidup melajang biasanya mulai lebih serius lagi dalam mencari pasangannya. Tanpa disadari semakin dewasa seseorang, semakin bervariasi saringan yang dipakai untuk menyeleksi calon pasangannya. Pengalaman, keyakinan, keluarga, kondisi sosial ekonomi, pendidikan biasanya mempengaruhi bagaimana kriteria yang akan ditetapkan dalam mencari pasangan hidup.

Novel karya Ita Siregar "Just Looking for Daniel" (Mencari Daniel) ini sepertinya mencoba untuk mengungkap apa yang dirasakan dan dialami wanita dewasa dalam mencari pasangan hidupnya. Sairara (Rara) tokoh dalam novel ini adalah wanita lajang yang berusia diatas tigapuluh tahun yang hidup normal dan menikmati hidupnya sebagai tenaga pengajar bahasa bagi para ekspatariat yang berkeja di Jakarta. Sebenarnya Rara adalah wanita yang supel dan memiliki banyak kawan, dan iapun sempat beberapa kali memiliki pacar, namun hingga usianya yang ketigapuluh dua kisah cintanya selalu kandas.

Terdesak oleh keluarga dan kawan-kawannya yang mulai mempertanyakan dan mengkhawatirkan soal pasangan hidupnya Rara diam-diam telah menentukan kriteria pria yang diimpikannya untuk menjadi calon pasangan hidupnya kelak.

Kelima kriteria itu adalah :

Pria yang seumur dengannya
Berambut ikal dan mempunyai sepasang mata hitam
Calon ibu mertua yang baik dan pintar masak
Tidur memakai piyama
Bernama….Daniel

Kelima kriteria itu memang terdengar kekanak-kanakan, namun itulah kriteria yang Rara pegang teguh hingga kini yang ia susun ketika masih duduk di bangku sekolah. Tentu saja selama masa pencariannya ia dihadapkan pada kenyataan bahwa semua kriteria itu tak mungkin dipenuhi.

Sampai suatu ketika, diam-diam seorang pria (Feby) yang bekerja dalam gedung yang sama dengan Rara mulai mengaguminya. Dalam satu kesempatan pria tersebut mencoba mendekati dan berkenalan dengan Rara. Terpesona oleh ketampanan dan kehangatan Feby tanpa disadarinya benih-benih cinta mulai terjalin diantara mereka berdua, sayang perbedaan agama membuat cinta mereka akhirnya kandas ditengah jalan. Rara tak berani mengambil resiko meneruskan hubungannya dengan Feby karena tuntutan keluarganya yang selalu menekankan agar ia memiliki pasangan hidup yang seagama.

Dalam satu pesta keluarga besarnya, seorang kerabat Rara memberitahukan bahwa dirinya akan diperkenalkan dengan pria (Edgar) yang baru saja pulang dari Jerman dan berharap Rara bisa berkenalan dan siapa tahu mereka bisa berjodoh.

Esoknya Rara bertemu dengan Edgar, yang ternyata adalah pria sempurna di matanya. Lupalah Rara dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkannya itu dan ia mulai menjalin cinta dengan Edgar. Tak disangka-sangka Edgar menuntutnya untuk segera menikah. Rara terperangah karena baginya tak mungkin secepat itu mereka harus menikah.

Walau tema dari novel terlihat sederhana, namun alur cerita dalam novel ini tak sesederhana tema-nya dan menarik untuk disimak. Tokoh-tokoh dalam novel ini tampil apa adanya dan tak mengada-ada sehingga novel ini terasa dekat dengan pembacanya. Gambaran suasana pekerjaan, kafe, makanan, guyubnya keluarga besar Rara terungkap dengan menarik. Eksplorasi kisah cinta antara Rara dengan Feby dan perasaan-perasaan yang mereka alami ketika menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa bersatu terungkap dengan baik tanpa harus menjadi cengeng. Hubungan antara Rara dan Edgar juga menarik untuk diikuti, pembaca akan dibuat bertanya-tanya akankah Edgar kelak akan menikahi Rara dan kehidupan macam apa yang telah dialami Edgar di Jerman sehingga ia ingin segera menikahi Rara. Semua itu baru akan terungkap di bab-bab akhir novel ini sehingga pembaca akan sulit melepaskan novel ini untuk memperoleh jawaban apakah Rara akhirnya menemukan "Daniel" seperti yang diimpikannya selama ini?

Jus’t Looking for Daniel diberi label Metro-Lit oleh penerbitnya pada cover buku ini. Dari segi pengemasan novel ini cukup menarik karena disajikan dalam warna-warni yang cerah seperti layaknya novel-novel genre chick./ teen-lit. Namun jika pembaca telah membacanya tampaknya novel ini lebih ‘dewasa’ dibanding warna dan desain covernya.

@h_tanzil

Laskar Pelangi


Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 529 hal
ISBN : 979-3062-79-7

Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit manakjubkan itu. Karena keragaman kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. (hal 160)

Masa kecil selalu indah untuk dikenang. Tanpa disadari apa yang kita alami di masa kecil akan membentuk kita pada hari ini. Apa yang kita lakukan hari ini, bagaimana cara pandang hidup kita terhadap hidup ini, semua terbentuk saat masa kecil. Novel ini diangkat dari memoar masa kecil penulisnya – Andrea Hirata – atau tokoh Ikal dalam novel ini yang dengan apik mengolah pengalaman masa kecilnya bersama Laskar Pelangi menjadi suatu novel yang memikat dan menyentuh secara emosional bagi siapapun yang membacanya

Laskar Pelangi bertutur tentang petualangan kesebelas anak kampung Melayu Belitong yang hidup dalam kemelaratan. Mereka secara tidak disengaja dipersatukan ketika sama-sama memasuki bangku sekolah di kampungnya. Novel ini diawali dengan kisah dramatis penerimaan murid baru di sekolah miskin SD Muhammadiyah yang merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kampung tersebut. Sebuah sekolah yang terpinggirkan dan hampir saja ditutup jika tak memenuhi kuota menerima 10 orang murid SD di tahun ajaran pertamanya. Pada detik-detik terakhir menjelang batas waktu penerimaan murid baru usai kuota itu belum juga terpenuhi, para guru dan calon murid yang menunggunya sudah siap menelan kekecewaan tak bisa bersekolah karena sekolahnya akan ditutup.. Untunglah di detik-detik terakhir muncul seorang calon murid yang memungkinkan sekolah tersebut bisa terus berjalan.

Kesepuluh anak inilah yang merupakan cikal-bakal terbentuknya Laskar Pelangi. Sembilan tahun bersama –sama (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) dalam kelas dan bangku yang sama membuat ikatan persahabatan diantara mereka semakin erat, begitupun ikatan dengan guru dan sekolahnya yang membuat mereka saling melengkapi dan dengan kreativitasnya masing-masing membela dan memperjuangkan sekolah mereka dari pandangan rendah sekolah-sekolah lain diluar kampung mereka yang telah mapan. Keragaman karakter Laskar Pelangi yang terjaga kekonsistenannya hingga akhir cerita membuat alur cerita dalam novel ini semakin menarik. Sebut saja tokoh Lintang si super jenius, Mahar sang seniman, Flo anak tomboi gedongan yang memutuskan untuk bergabung dengan Laskar Pelangi, Sahara gadis yang judes, Kucai yang bercita-cita jadi politikus, Samson yang perkasa, Syahdan yang ingin jadi aktor Akiong yang pengugup, Harun "anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa", Trapani, pria yang tampan dan lembut, Borek si pengacau, dan Ikal si pemimpi yang merupakan tokoh yang bercerita dalam novel ini.

Memang tak semua anggota Laskar Pelangi mendapat porsi yang sama kemunculannya dalam novel ini, selain Ikal si pencerita tokoh Lintang mendapat porsi yang cukup banyak. Lintang si anak kuli kopra yang jenius yang harus bersepeda sejauh 80 klilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu membuat pembaca novel ini termotivasi semangatnya untuk terus mengejar ilmu tanpa menyerah. Berkat kejeniusannya Lintang kelak akan mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat yang diikuti oleh sekolah-sekolah terkenal di sekitar kampungnya.

Lalu ada tokoh Mahar seorang anak yang imajinatif, kreatif yang walaupun sering mendapat ejekan dari teman-temannya namun berhasil mengangkat derajat sekolahnya dalam karnaval 17 Agustus. Selain itu kesembilan orang Laskar Pelangi yang lain pun dalam novel ini dikisahkan begitu bersemangat dan berjuang dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.
Keseluruhan kisah Laskar Pelangi ini tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis dan tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi.

Namun tak hanya itu saja, novel ini juga sangat berpotensi untuk memperluas wawasan pembacanya. Deskripsi lingkungan Kampung Melayu Belitong yang dideskripsikan secara jelas dan memikat membuat pembaca novel ini akan mengetahui kondisi lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Melayu Belitong yang hidup dibawah garis kemiskinan yang ironisnya ternyata hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup.

Novel ini juga memuat glossarium lebih dari seratus entri yang sebagian besar berisi entri nama-nama latin tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral yang ada dalam perut bumi, makanan, istilah ekonomi, budaya dan lainnya.

Dari segi alur cerita novel ini sepertinya akan memikat pembacanya untuk segera menyelesaikan novel inspiratif ini. Kalimat-kalimatnya enak dibaca dan mengalir secara lancar. Namun kemunculan nama-nama latin dari tumbuh-tumbuhan sepertinya akan membuat kelancaran membaca novel ini menjadi sedikit tersendat. Selain itu eksplorasi tokoh Lintang yang jenius disaat berdebat dengan seorang guru dari kota pada saat lomba cerdas cermat terasa tidak logis bagi seorang anak SMP karena di bagian ini Lintang dengan fasih memaparkan prinsip-prinsp optik Descrates, Newton, sampai Hooke. Namun karena kisah ini dikemas dalam bentuk fiksi maka batas antara fakta dan fiksi kiranya tak perlu diperdebatkan.

Pada intinya novel Laskar Pelangi menyampaikan pesan mulia bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya ternyata mampu melahirkan kretaivitas-kreativitas yang melampaui sekolah-sekolah favorit yang telah mapan baik dari segi fisik maupun pengajarannya.

Selain itu kehadiran Novel Laskar Pelangi ini setidaknya akan membuktikan bahwa penulis lokal mampu menghasilkan sebuah novel yang menggugah dan inspiratif yang selama ini sepertinya didominasi oleh penulis-penulis asing.


@h_tanzil

True Ghost Stories


Judul : True Ghost Stories - 17 Kisah Sejati
Penulis : Cheiro
Penerbit : PT. One Earth Media
Tebal : x + 222 hal
ISBN : 979-99877-4-1

Sesuatu yang supernatural tentu menarik perhatian semua orang. Hal-hal yang tidak biasa dan aneh, yang adikodrati, yaitu hal yang berada di luar jangkauan pikiran, selama ini dianggap sebagai bahasan yang menarik. Beberapa waktu yang lalu tidak terhitung tayangan televisi yang mengungkap hal-hal supranatural yang penuh dengan misteri. Dalam khazanah pustaka tanah air beberapa buku fiksi dan non fiksi yang mengisahkan hal-hal supranatural pun mulai bermunculan walau tak seintens tayangan-tayangan di televisi, namun buku-buku yang mengulas masalah ini ada dalam khazanah pustaka kita.

Buku True Ghost Stories, 17 Kisah Sejati ini adalah salah satu buku yang mengisahkan hal-hal supranatural, namun tak seperti tayangan-tayangan di televisi, buku ini menampilkan kisah-kisah sejati tentang keabadian roh yang dihimpun oleh Cheiro, penulisnya.
Cheiro yang memiliki nama asli Count Louis Harmont (1866-1936) adalah seorang pribadi yang unik. Ia tinggal di London Inggris. Profesinya sebagai orang yang bisa berhubungan dengan roh-roh orang yang telah mati dan keahliannya meramal masa depan seseorang melalui garis tangan membuat Cheiro terkenal pada masa hidupnya di awal abad ke 20. Ia amat dipercaya para raja, negarawan dan orang-orang ternama dari berbagai negara untuk menjaga rahasia yang mereka miliki. Sejumlah tokoh terkenal yang telah berkonsultasi dengannya antara lain, Raja Edward VIII, Presiden AS Grover Cleveland, Oscar Wilde, Mark Twain, dan masih banyak lagi. Buku-bukunya banyak dibaca dan dibicarakan orang-orang segala lapisan pada masanya. Bahkan hingga kini buku-bukunya masih terus diterbitkan dan diedarkan oleh dua buah jalur distribusi buku terkenal seperti Barnes & Noble dan Amazon.com

Buku-buku Cheiro sangat jarang dijumpai di Indonesia, beruntung salah satu bukunya "True Ghost Sories" yang berisi pengalaman-pengalaman dirinya dan para kliennya kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Buku yang berisi 17 kisah sejati ini dibagi kedalam dua bagian besar yaitu bagian pertama yang berjudul : "Roh Tak Diundang". Di bagian ini tersaji 6 buah kisah menyeramkan dimana roh-roh orang yang telah mati secara tiba-tiba menampakkan dirinya pada manusia. Ada roh jahat yang berusaha mencelakai manusia dengan tujuan membalas dendam, ada kutukan Mesir kuno yang mencelakai para pembongkar makam suci, dan sebagainya. Namun ada juga roh baik yang berusaha menepati janji terhadap sahabatnya yang masih hidup untuk memanggil dokter ketika sahabatnya itu jatuh sakit.

Di bagian kedua yang berjudul "Roh Yang Diundang", sebagian besar kisah-kisahnya menceritakan pengalaman-pengalaman Cheiro dalam menghadiri upacara pemanggilan roh diberbagai tempat yang dikunjunginya. Pada kisah yang berjudul "Roh Pengungkap Rahasia", diceritakan pengalaman Cheiro ketika untuk pertama kalinya menghadiri upacara pemanggilan roh. Saat itu Cheiro sedang mengunggu kedatangan temannya di sebuah stasiun kereta api London. Kesal menunggu kereta yang tak kunjung tiba, tiba-tiba ia menemukan sebuah lembaran tabloid kumal. Cheiro mengambil tabloid itu yang ternyata sebuah tabloid yang diterbitkan khusus bagi mereka yang tertarik dengan dengan fenomena roh di kota London. Saat membaca, mata Cheiro tertumbuk pada iklan undangan pertemuan pemanggilan roh. Tertarik untuk mencoba, akhirnya Cheiro menghadiri pertemuan tersebut. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat roh ayahnya yang telah meninggal muncul dan menyampaikan pesan pentingnya pada Cheiro. Semenjak kejadian itu Cheiro yang telah mengalami sendiri apa yang dinamakan komunikasi dengan dimensi lain merasa berkewajiban untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya pada publik. Berbeda dengan bagian pertama, pada bagian kedua dari buku ini semua roh-roh yang menampakkan diri pada umumnya menyampaikan pesan-pesan pada orang yang masih hidup baik pesan pribadi maupun pesan yang menyangkut masyarakat luas seperti kisah penampakkan Roh Frederick Yang Agung (Raja Prusia) yang datang untuk memperingatkan akan terjadinya Perang Dunia I, dan sebagainya.

Kisah-kisah yang terdapat dalam buku ini umumnya memang menyeramkan, kejadian-kejadian yang dialami Cheiro tak jarang membuat pembaca penasaran dan ikut merasakan ketegangan dan kengerian seperti yang dialami oleh Cheiro. Bagi penggemar cerita-cerita misteri supranatural tampaknya buku ini bisa dijadikan pilihan.

Namun tak berarti buku ini hanya mengumbar kengerian belaka. Ada makna dibalik kengerian kisah-kisah yang terdapat dalam buku ini. Melalui buku ini setidaknya pembaca disadarkan akan luasnya cakrawala kehidupan manusia sehingga panca indera hanya sanggup mengenal sebagian kecilnya saja. Buku ini juga bisa membuat setiap orang menyadari misteri kehidupan yang mengelimuni kita dan menyadarkan pembacanya bahwa sesungguhnya jiwa tak pernah mati. Ia bermanifestasi dalam berbagai bentuk fisik, namun keluasan dan keabadiannya tak terbatasi oleh badan yang kekal. Atau seperti diungkap Cheiro sendiri dalam buku ini yang menyatakan bahwa buku yang ditulis apa adanya berdasarkan pengalaman dirinya dan cerita orang lain yang berhubungan dengan hal-hal adikodrati, dimaksudkan untuk mengobati siapa saja yang terluka hatinya karena ditinggal mati orang-orang tercinta, dan menyadarkan betapa dekat mereka dengan orang-orang yang dicintainya. (hal4-5)

@h_tanzil

Kembang Kertas


Judul : Kembang Kertas
Penulis : Kurniasih
Penerbit : Jalasutra, cet 1 2005
Tebal : 200 hal
ISBN : 979-3684-37-2
Harga :

Kurniasih , adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu. (hal 13) , demikian komentar Bambang Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra "jebolan" Unpar ( Universitas Parahyangan) Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan) ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.

Kembang Kertas, adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003 hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan berdarah-darah , hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis : Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki (Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya

Namun tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik, beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati) hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).

Penjelajahan imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila Amal pun tak terhindarkan.
Bagi beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing pembacanya.

Buku ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya, editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.

Akhirnya buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu memang sedang bertumbuh.

@h_tanzil

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 145 hal
ISBN : 979-97312-8-3

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru. Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang! Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

@h_tanzil

Tuesday 24 January 2006

Senyum Untuk Calon Penulis

Judul : Senyum untuk Calon Penulis
Penulis : Eka Budianta
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : 1, September 2005
Tebal : 274 hal
ISBN : 979-3064-17-X

Judul Buku ini sangat menarik dan sangat spesifik dalam menentukan siapa kira-kira target pembaca buku ini. Dari judulnya yang spesifik pembaca akan segera mengetahui apa kira-kira yang terdapat dalam isi buku ini dan berharap bahwa buku ini akan menjawab berbagai pertanyaan yang selalu muncul dalam benak seseorang ketika ia akan menulis.

Dalam benak seorang yang ingin menulis biasanya akan selalu timbul pertanyaan-pertanyaan seperti : Mengapa harus menulis ? apa yang harus ditulis?, untuk siapa, dimana, dan bagaimana menulis dengan baik?. Buku kumpulan tulisan dari penulis sekaligus penyair senior Eka Budianta ini mencoba untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan diatas. Buku ini memang bukan buku panduan praktis bagaimana menulis dengan benar. Lebih dari itu! Buku ini mencoba mengajak , memotivasi dan menginspirasi siapa saja yang ingin agar tulisan-tulisannya lebih menyala seperti bermacam-macam lampu, dapat mengeluarkan berbagai aroma dan bau, menyalurkan bermacam perasaan takut, memberi semangat, mengejutkan bahkan membuat muntah pembaca.

Buku yang terdiri dari 25 tulisan ini dirangkai dari berbagai tulisan Eka Budianta dalam setiap makalah yang disajikannya diberbagai seminar dan diskusi dalam kurun waktu 4 tahun (1999-2002). Berbagai macam tema seputar dunia tulis menulis, buku, lingkungan hidup, sastra dan lain-lain mewarnai tulisan-tulisannya dalam buku ini. Dalam salah satu tulisan yang judulnya diangkat menjadi judul buku ini :Senyum untuk Calon Penulis. Eka menyampaikan beberapa pokok masalah dalam menulis.
Pokok pertama adalah : Selalu Ingat : Mengapa Anda menulis? Di sini Eka menegaskan niat dalam hati dalam menentukan tujuan menulis adalah hal yang paling penting dalam karya sastra. Bukan teknik, keindahan bahasa, plot, tetapi intinya. Isi cerpen, isi novel, isi puisi, itulah yang bicara (hal 195).
Kedua : Pentingkah: Kapan Anda Menulis? Bagi Eka kapan menulis bukanlah masalah, yang lebih penting adalah melihat isi atau pesan setiap pengarang. Bagi penulis-penulis besar pesan-pesan yang diampaikan biasanya akan abadi. Drama-drama Shakespeare tetap abadi hingga kini Walmiki dengan Epos Ramayana telah menulisnya 2500 tahun lalu di India. Dari segi usia kapan mulai menulis pun tak jadi persoalan asal tulisannya mengandung nilai-nilai abadi maka tulisannya akan bertahan lama. Kartini, Chiril Anwar, Moh. Hatta menulis di usia yang sangat muda namun apa yang ditulisnya tetap dibaca orang hingga kini.
Ketiga: Jiwa Merdeka dan Gembira. Modal utama seorang pengarang adalah jiwa yang merdeka. Dengan bebas berpikir dan berimajinasi, setiap penulis dapat melahirkan karya-karyanya. Namun Eka mengingatkan bahwa semakin besar kemerdekaan seorang penulis maka semakin besar juga tanggung jawabnya dan semakin perlu hati-hati. Keempat : Bagaimana Menulis dan Apa isinya. Di sini Eka menceritakan pengalamannya menjadi asisten HB Jasin dalam menyeleksi karya-karya sastra. Walau suatu karya dinilai bagus oleh HB Jasin namun tak berarti karya tersebut bisa dipublikasikan, menurut Jassin seorang penulis membawa tugas sebagai "guru" bagi pembacanya, melalui tulisan, manusia bisa membongkar pikiran orang lain. Tapi bila penulis berhasil membongkar, tetntu penulis harus bisa merapihkannya.

Jika membaca semua tulisan yang terdapat dalam buku ini, akan terlihat bahwa buku ini sangat kaya akan cakupannya, bahasanya mudah dimengerti karena ditulis dengan gaya personal, tidak hanya persoalan tulis menulis yang dibahasnya namun mencakup bidang sastra, budaya, lingkungan, politik, dan lainnya. Dari segi keterbacaannya buku ini sangat mudah untuk dipahami karena Eka menulisnya dengan gaya personalnya yang khas.Kesimpulannya, buku yang diberi pujian oleh 33 tokoh yang beragam profesinya ini setidaknya bisa memberikan inspirasi bagi mereka yang bergerak dalam dunia tulis menulis. Kritik terhadap buku ini ada pada pemilihan judul bukunya "Senyum untuk Calon Penulis", judul buku ini seolah membatasi bagi siapa buku ini diperuntukkan (calon penulis), padahal jika membaca seluruh tulisan yang terdapat dalam buku ini, buku ini bukan hanya untuk calon penulis saja melainkan bagi siapa saja yang berprofesi dan bergerak dalam dunia literer.

@h_tanzil

Daftar Isi buku Senyum untuk Calon Penulis :
Penyair dalam Struktur Meditasi
Tulisan dan Perubahan
Menulis, Mendidik, Merdeka
Puisi dan Kekerasan
Sastra Pasca-Nasionalisme
Jurnalisme dalam Transisi
Kebudayaan dalam Reformasi
Kepeloporan dan Reformasi
Mobilisasi dan Peran Media
Bila Penyair Berkicau
Dokumentasi=jati diri
Belajar dari Rahardi
Sastra Indonesia dan Pasar Global
Persahabatan dan reativitas
Pro dan Kontra Sweeping Buku
Dari Puisi untuk Kehidupan
Di Balik sukses Non Fiksi
Masyarakat Cyber dan Sastra Multimedia
Dengan Hati dan Akal Sehat
Senyum untuk Calon Penulis
Sastra Industri dan Industri Sastra
Sastra Kita mau global atau universal
Membuka Diri pada Tradisi
Menimba Kekuatan dari Reruntuhan
Mengelola Uang dan Rahasia
Sumber Tulisan
Biodata Penulis

Monday 23 January 2006

Mengungkap Misteri Air


Judul : Mengungkap Misteri Air
Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru
Penulis : Ir. Triwidodo Djokorahardjo, M. Eng
Nina Natalina, Ir Gede M Merada
Anand Khrishna
Penerbit : PT. One Earth Media
Cetakan : I, Juni 2005
Tebal : xxxiv + 96 halaman
ISBN : 979-99450-5-4

Air! Kehidupan manusia tak lepas dari air, bahkan secara tidak disadari kehidupan manusia dikelilingi oleh air. Bumi dikenal sebagai planet air karena 70 persen bumi diliputi oleh air. Bukan suatu kebetulan jika ternyata tubuh manusiapun memiliki komposisi 70 persen air! Kenyataan ini menunjukkan bukti tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia. Siklus kehidupan manusia semenjak berbentuk janin dimulai dari rahim seorang ibu yang terdiri dari 99 persen air. Ketika dilahirkan, manusia terdiri dari 90 persen air, Barulah pada saat dewasa air dalam tubuh manusia menyusut menjadi 70 persen dan tersisa kurang lebih 50 persen ketika manusia semakin tua dan meninggal. Seluruh uraian diatas menandakan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada air.

Karena air demikian dekat dengan manusia tentunya air memiliki pengaruh yang besar terhadap kehdupan manusia, seberapa besar pengaruh air dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan seberapa besar air dapat dipengaruhi oleh pola pikir dan perasaan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang nampaknya akan dicoba dijawab dalam buku kecil "Mengungkap Misteri Air" ini. Buku yang disusun berdasarkan hasil diskusi bertajuk "Rahasia Air untuk Kemanusiaan Baru" yang diselenggarakan pada 12 Maret 2005 di Padepokan One Earth One Sky Humankind milik spiritualis Anand Krishna ini mengungkap penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Jepang Dr. Masaru Emoto yang sepanjang hidupnya meneliti tentang manfaat air. Hasil dari penelitian Dr. Emoto ini telah dipublikasikan melalui bukunya The Massage from Water, dimana melalui bukunya ini dunia dibuat terperangah!, lewat bukti-bukti yang tak terbantahkan ilmuwan ini menyatakan bahwa air, ternyata secara seketika mampu merespon pikiran dan perasaan manusia!

Kesimpulan yang mencengangkan dari Dr. Emoto ini dilakukan setelah ia dan timnya melakukan percobaan dengan cara mengambil sampel dari 50 jenis air yang kemudian dibekukan selama tiga jam dengan suhu – 20 derajat Celcius. Hasilnya akan terbentuk butiran es di permukaan air tersebut. Kristalnya akan terlihat ketika ada cahaya yang diarahkan padanya. Tak semua sampel air tersebut menghasilkan kristal yang sama. Kesimpulan awal yang diambil oleh Dr. Emoto adalah bahwa air yang berbeda akan menghasilkan kristal yang berbeda pula. Dari sini penelitian berlanjut, salah seorang penelitinya mengusulkan gagasan agar melihat apa yang akan terjadi jika air diperdengarkan musik. Dengan cara yang sederhana yaitu menempatkan sebotol air yang diapit oleh dua buah speaker dan diperdengarkan berbagai jenis musik, ternyata hasilnya mencengangkan. Air yang diperdengarkan musik-musik klasik karya Beethoven, Mozart, menghasilkan kristal-kristal air yang berbentuk sempurna. Sebaliknya, air yang diperdengarkan musik-musik heavy metal menghasilkan bentuk kristal yang jauh dari sempurna dan terpecah-pecah (hal. xx). Tidak puas dengan pengaruh air terhadap musik, penelitian dilanjutkan dengan mencoba mengetahui respon air terhadap kata-kata. Caranya, dengan menuliskan kata-kata seperti "terima kasih" dan "bodoh" pada sehelai kertas yang ditempelkan menghadap ke air pada dinding sebuah botol. Hasilnya pun sungguh luar biasa! Air yang diberi tulisan terima kasih membentuk kristal-kristal heksagonal yang sangat indah. Sementara air yang ditempelkan tulisan "bodoh" menghasilkan kristal yang tak utuh mirip dengan kristal tak sempurna dari air yang dieprdengarkan musik heavy metal.
Dari percobaan tadi akhirnya Dr. Emoto memberikan kesimpulan bahwa air mampu memberikan respon secara seketika terhadap pikiran dan emosi manusia.

Dari tersingkapnya misteri air yang ternyata bisa merespon keadaan lingkungannya inilah peranan air dalam kehidupan manusia semakin dirasakan penting. Melalui buku ini yang terdiri dari pandangan para pemerhati dan praktisi masalah air, masing-masing narasumber sesuai dengan keahliannya mencoba merespon dan memberikan pandangannya yang terkait dengan penelitian Dr. Emoto. Ir. Triwidodo Djokohardjo M.Eng (Ahli Sumber Daya Air) mengungkap bahwa sebenarnya bangsa Indonesia sejak jaman dahulu sudah memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam memandang air dalam kehidupannya. Adanya ritual-ritual dan doa-doa yang menggunakan air sebagai medianya membuktikan bahwa sebenarnya penemuan Dr. Emoto ini secara praktis telas dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu kala. Nina Natalia (Direktur Operasional Yayasan Bina Usaha Lingkungan) menyampaikan mengenai manfaat air sebagai sumber daya energi alternatif yang harus mulai dikelola sebelum habisnya sumber daya energi minyak. Gede M. Mirana (wirausahawan, mantan konsultan eksplorasi energi) mengungkap bahwa bencana Tsunami di Aceh adalah mungkin saja akibat air yang merespon pikiran penduduk di Aceh yang telah lama dilanda kebencian dan kekerasan yang berlangsung terus-menerus.

Selain menyajikan pandangan para pakar dan praktisi air, buku ini juga menyajikan diskusi-diskusi berupa tanggapan dan tanya jawab selama diskusi berlangsung. Nampaknya buku ini memang disajikan apa adanya sebagaimana diskusi yang sedang berlangsung. Kalimat-kalimat yang dipergunakan dalam buku ini tampaknya sesuai dengan kalimat yang diucapkan oleh para narasumbernya, dengan demikian buku ini menjadi sangat mudah dibaca dan dipahami oleh siapapun. Foto-foto kristal-kristal air hasil percobaan Dr. Emoto disajikan dalam buku ini sehingga pembaca bisa melihat secara kasat mata bagaimana air merespon keadaannya. Buku ini ditutup oleh Anand Khrisna yang mencoba mengajak para audiens/pembacanya bahwa pembiacaraan tentang air yang tersaji dalam buku ini adalah salah satu Ayat Allah yang harus dipelajari dan direnungkan, karena seluruh kehidupan manusia adalah water-based, carbon-based.

Dalam buku ini selain mengungkap misteri air yang akan menyingkap pesan universal kepada pembacanya, buku ini juga berpotensi untuk mengubah cara pandang pembacanya terhadap kehidupan secara revolusioner. Namun jika Anda belum siap mengubahnya…hindari saja buku ini!

@h_tanzil
 
ans!!